BAGIAN 2
A. Asbab Wurud Al-Hadis
1)
Ilmu Asbab Wurud al-Hadis
Kata Asbab adalah jama’ dari sabab.
Menurut ahli bahasa diartikan dengan “ al-habl “ (tali),[1]
saluran, yang artinya dijelaskan sebagai:” segala yang menghubungkan satu benda
dengan benda lainnya”.[2]
Menurut istilah adalah:
“Seagala
sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”
Ada juga
yang mendefenisikan dengan:”Suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa
adanya pengaruh apa pun dalam hukum itu”. [4]
Sedangkan kata wurud bisa berarti sampai,
muncul,dan mengalir,
seperti:
أَلْمَاءُ أَلَّذِيْ يُوْرِدُ[5]
“Air yang memancar, atau air yang mengalir”
Dalam pengertian yang lebih luas, Al-Suyuthi merumuskan
pengertian asbab wurud al-hadis dengan: Sesuatu yang membatasi arti
suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqayyad,
dinasakhkan dan seterusnya” atau, “suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis
saat kemunculannya”[6].
Dari uraian pengertian tersebut, asbab wurud
al-hadis dapat diberi pengertian yakni “suatu ilmu pengetahuan yang
membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan waktu beliau
menuturkan itu.” Seperti sabda rasul SAW. Tentang kesucian air laut dan apa
yang ada didalamnya. Ia bersabda:”laut itu suci airnya dan halal bangkainya”.
Hadis ini dituturkan oleh Rasul SAW. Saat berada ditengah lautan dan ada salah
seorang sahabat yang merasa kesulitan berwudhu karna tidak mendapatkan air
(tawar). Contoh lain adalah hadis tentang niat, hadis ini dituturkan berkena’an
dengan peristiwa hijrahnya Rasul SAW. Kemadinah. Salah seorang yang ikut hijrah
karena didorong ingin mengawini wanita yang bernama Ummu Qais.
Urgensi asbab wurud terhadap hadis .sebagai
salah satu jalan untuk memahami kandungan hadis, sama halnya dengan urgensi asbab
nujul Al-quran terhadap al-Quran, ini terlihat dari beberapa faedahnya
,antara lain, dapat mentakhsis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak,
menunjukan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan
menunjukan illat suatu hukum.
Maka dengan memahami asbab wurud hadis
ini, dapat dengan mudah memahami apa yang dimaksud atau yang dikandung oleh
suatu hadis. Namun demikian, tidak semua hadis mempunyai asbab wurud, seperti
halnya tidak semua ayat al-Quran memiliki asbab nujulnya.
2)
Ta’rif dan faidah Ilmu Asbabi wurud Al-hadis
Yang dimaksud dengan Ilmu Asbabi wurud Al-hadis
atau Asbab Al-atsar, ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab
lahirnya hadis. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebab-sebab, latar belakang
dan sejarah dikeluarkan hadis itu sudah tercakup dalam pembahasan ilmu tarikh,
karena itu tidak perlu dijadikan suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Akan tetapi karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang
khusus yang tidak seluruhnya tidak tercakup dalam ilmu tarikh dan mempunyai
faidah yang besar sekali dalam lapangan ilmu hadis. Maka kebanyakan muhadditsin menjadikan ilmu itu suatu ilmu pengetahuan
tersendiri, sebagai cabang ilmu hadis dari jurusan matan.
Faidah-faidah mengetahui Asbab Wurud Al-hadis
itu antara lain ialah :
1) Untuk menolong,
memahami dan menafsirkan al-hadis. Sebab sebagaimana diketahui bahwa
pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya sesuatu itu merupakan saran untuk
mengetahui musabbab (akibat) yang ditimbulkannya. Seseorang tidak mungkin
mengetahui penafsiran suatu hadis secara tepat, tanpa mengetahui sebab-sebab
dan keterangan-keterangan tentang latar belakang: nabi bersabda, berbuat atau
mengakui perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan beliau. Ia merupakan suatu
sarana yang kuat untuk memahami dan menafsirkan al-hadis.
2) Sebagaimana diketahui
bahwa lafadz nash itu kadang-kadang dilukis dalam kata-kata yang bersifat umum,
sehingga untuk mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang
mentakhshikannya. Akan tetapi dengan diketahui sebab-sebab lahirnya nash itu,
maka takhshih yang menggunakan selain sebab harus disingkirkan. Sebab
menyingkirkan takhshih yang berbentuk sebab ini adalah qath’iy ,sedang
mengeluarkan takhshis sebab adalah terlarang secara ijma’.
3) Untuk mengetahui
hikmah-hikmah ketetapan syari’at(hukum).
4) Untuk mentakhshishkan
hukum bagi orang yang berpedoman qaidah Ushul-fiqh “Al-ibratu bikhusuhshi’s-sabab”(mengambil
suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus).biarpun dari pendapat
yang kuat dari golongan Ushuliyun berpedoman dengan “Al-ibratu
bi’umumu’i-lafadh,la bikhushusi’s-sabab”(mengambil suatu ibarat itu
hendaknya berdasar pada lafad yang umum, bukan sebab-sebab yang khusus).
3)
Macam-macam Asbabul Wurud
Peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadits ada 2. Yaitu:
1. Asbab Wurud Al-khas, yaitu
peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu hadits.
2. Asbab Wurud Al’Am, yaitu semua
peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannnya oleh hadis, baik
peristiwa itu terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu. Pengertian yang
kedua ini dapat diperluas sehingga mencangkup kondisi social pada msa turunnya
hadis (setting social).
Adapaun patokan kaidah yang
dipakai oleh para mayoritas ulama dalam asbab wurud adalah ;
1. Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi
khusus al-sababi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah keumuman
lafad, bukan sebab khususnya).
2. Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi
‘umum al-lafdzi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah sebab
khusus, bukan keumuman lafad.
Adapun contoh dari kaidah
pertama yaitu Hadis tentang mandi jum’at yang berbunyi:
حَدَثَنَا عَبْدُ اْللَّه بْنِ يُوْسُفْ قَالَ :
أَخْبَرَنَا مَالِكُ, عَنْ نَافِعِ عَنْ عَبْدِ اْللَّهِ بْنِ عُمَرْ رَضِيَ
اْللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اْللَّهِ صَلَّي اْللَّهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ
قَالَ : إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ اَلجُمْعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ. (روه البخاري)
Sesungguhnya
rasulallah SAW bersabda : “jika seseorang diantara kamu mendatangi
shalat jum’at, maka hendaklah ia mandi” (H.R. Bukhari)
Dalam memahami hadis diatas maka kita lihat dulu asbabul wurudnya. Pada jaman
nabi SAW, ekonomi para sahabat pada umumnya masih dalam keada’an sulit. Mereka
memakai baju wol dan bekerja diperkebunan kurma, memikul air diatas punggung
mereka untuk melakukan penyiraman. Setelah bekerja diperkebunan, banyak
diantara mereka yang langsung pergi ke masjid untuk melakukan shalat jum’at.
Pada hari itu udara sangat panas dan nabi menyempatkan khutbah jum’at diatas
mimbar yang pendek, kemudian mereka berkeringat dalam keadaan pakai pakaian
wol. Bau keringat dan baju wol mereka menyebar diruangan masjid dan
jama’ah merasa terganggu. Bahkan bau mereka juga sampai menyebar kemimbar
rasulallah SAW, dan kemudian nabi bersabda : “Wahai kalian manusia, jika
kalian melaksanakan shalat jum’at ,hendaklah mandi terlebih dahulu dan pakai
minyak wangi terbaik yang ada padanya”
Jumhurul ulama mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari jum’at disebabkan
oleh banyak factor, antara lain cuaca panas byang menyebabkan berkerinngat,
pakaian wol yang menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit dan lain2. Jika
jama’ah tidak mandi maka akan menimbulkan gangguan dan mengurangi ketenangan
didalam masjid. Hadis itu berlaku dan wajib dilaksanakan dalam kondisi
demikian.
Ketika keadaan umat islam sudah makmur, masjid-masjid sudah luas dan pakaian
mereka terbuat dari kain, maka ada kelonggaran dan kemurahan untuk tidak mandi
ketika hendak pergi keshalat jum’at. Sebab hal itu tidak akan menimbulkan
adanya gangguan pada jama’ah. Jika diamati ,maka kelihatan jelas pendapat
jumhurul ulama diatas dalam memahami hadis dengan kaidah : Al-‘Ibrah bi
‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi hadis nabi SAW yang menyatakan
“siapa saja yang mendatangi shalat jum’at supaya mandi terlebih dahulu”
lahir karena adanya sebab khusus, yaitu adanya jama’ah yang kehadirannya
menimbulkan gangguan berupa bau tidak sedap yang diitimbulkannya dalam ruangan
masjid yang sangat sempit, dengan menerapkan kaidah diatas maka hadis itu
berlaku pada siapa saja yang kondisinya sama dengan pelaku peristiwa yang
menyebabkan munculnya hadis tersebut. Isi hadis tersebut tidak mengikat pada
kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan pelaku peristiwa dan dalam suasana
yang berbeda pula, hanya saja kalau perintah hadis itu dilaksanakan, maka hukumnya
lebih baik bagi yang melakukan. Jika hadis itu dilepaskan dalam kontek asbabul
wurudnya, maka disimpulkan bahwa hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib
sebagaimana pendapat daud al-dhahiri. Pendapat semacam ini semata-mata memahami
hadis secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks yang menyertainya.[7]
Contoh kaidah yang kedua yaitu Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi ‘umum
al-lafdzi ,berdasar4kan hadis diatas pula maka kita harus melihat pada
sebab-sebab yang mengikutinya sebagaimana telah disebutkan. Jadi, jika
menggunakan kaidah ini kewajiban mandi jum’at diatas hanya diberikan kepada
orang-orang yang mempunyai kondisi latar belakang yang sama.
4)
Cara-cara Mengetahui Sebab-sebab Lahirnya Hadits
Di antara maudlu’ pokok dalam ilmu asbabi
Wurudi’l-Hadis ialah pembicaraan tentang cara-cara untuk
mengetahui sebab-sebab lahirnya hadis. Cara-caranya yaitu hanya dengan jalan
riwayat saja. Karena tidak ada jalan bagi logika, menurut penelitian
Al-Bulqiny, bahwa sebab-sebab lahirnya hadis itu ada yang sudah tercantum
didalam hadis itu sendiri dan adapula yang tidak tercantum didalam hadis itu
sendiri, tetapi tercantum dihadis lain.
Sebagai contoh asbabu wurudi’l-hadis yang tercantum
didalam hadis itu sendiri, seperti hadis abu dawud yang tercantum dalam kitab
sunannya, yang diriwayatkan oleh abu Sa’id al-Khudry, kata Abu Sa’ib :
إِنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اْللَهِ صَلَّي اْللَهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوَضَّاءُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ, وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ
فِيْهِ الْخَيْضُ , وَلَحْمُ الْكَلْبِ وَاْلنَّتْنِ فَقَالَ : أَلْمَاءُ طَهُوْرٌ
لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“bahwa beliau pernah ditanyakan oleh seseorang tentang
perbuatan yang dilakukan oleh rasulullah SAW :”apakah tuan mengambil air wudhu’
dari sumur Budla’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing dan barang-barang
busuk ? jawab rasulullah SAW :”air itu suci, tak ada sesuatu yang menjadikannya
najis”.
Sebab Rasulullah SAW bersabda, bahwa setiap air itu
suci, lantaran ada pertanyaan dari sahabat, tentang hukum air yang bercampur
dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan itu dilukiskan
dalam rangkaian hadis itu sendiri.
Contoh asbabu’l-wurud yang tidak tercantum dalam
rangkaian hadis itu sendiri, tetapi diketahuinya dari hadis yang terdapat
dilain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti hadis Muttafaq-‘alaih
tentang niyat dan hijrah, yang diriewayatkan oleh ibnu Umar r.a :
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا
أَوِاْمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَي مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
“.... Barang siapa yang hijrahnya karena untuk mendapatkan
keduniaan atau perempuan yang bakal dikawininya, maka hijrahnya itu hanya
kepada apa yang dihijrahkannya saja”.
Asbabu’l-Wurud dari hadis diatas , kita temukan pada
hadis yang ditakhrijkan oleh At-thabarany yang bersanad tsiqah dari Ibnu Mas’ud
r.a, ujarnya :
كَانَ بَيْنَنَا رَجُلٌ خَطَبَ إِمْرَةً يُقَالُ لَهَا (
أُ مُ قَيْسٍ ) , فَأ بَتْ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا حَتَّي يُهَاجِرَ ,
فَهَاجَرَفَتَزَوَّجَهَا . كُنَّا نُسَمِّيْهِ ( مُهَاجِرأمّ قَيْسٍ ).
“Konon pada jama’ah kami terdapat seorang laki-laki
yang melamar kepada seorang perempuan yang bernama ummu Qais, tetapi perempuan
itu menolak untuk dikawininya, kalau laki-laki pelamar tersebut enggan
berhijrah ke madinah. Maka ia lalu hijrah dan kemudian mengawininya. Kami namai
laki-laki itu , Muhajir Ummu Qais”.
5)
Perintis ilmu ini dan Kitab-kitabnya
Perintis ilmu Asbabi Wurudi’l-hadis ialah Abu Hamid
bin Kaznah Al-jubary *).[8]
Kemudian disusul oleh Abu Hafs ‘Umar bin Muhammad bin Raja’i Al-Ukbury (380-458
H). Ia adalah salah seorang guru Abu Yahya Muhammad bin Al-husain Al-Farra’
Al-hambaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.
Al-Muhaddits As-Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin
Kamaludin yang terkenal dengan kunyah Ibnu Hamzah Al-Husainy (1045-1120)
mengarang pula kitab asbabi-wurud-hadits dengan diberi nama “Al-bayan wat
Ta’rif fi Asbabi wurudil-hadisisy-syarif. Kitab yang disusun secara Alfabetis
ini dicetak pada tahun 1329 H. diHalab dalam 2 juz besar-besar.
B.
Mukhtalif Al-Hadis
A. Sejarah Singkat Mukhtalif
Al-Hadits
Pada masa awal
sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan
hadits-hadits yang mukhtalif ini dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Ini jelas
terlihat dari rumusan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam kitab ar-Risalah,
al-Umm, dan Ikhtilaf al-Hadits. Pembahasan ikhtilaf ini juga ditulis oleh Ibnu
Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-Hadits (213-276 H) dan Musykil
al-Atsar karya ath-Thahawi (229-321 H).
Di sisi lain,
ilmu yang berhubungan dengan ilmu hadits dalam makna ilmu riwayah, lebih
bersifat ilmu musthalah al-hadits. Hal ini terlihat jelas dalam
kitab al-Muhaddits al-Fashil karya Ramahurmuziy (w. 360), yang
dipandang sebagai kitab pertama dalam ilmu ini.
Dalam
perkembangannya, ilmu ini tidak saja dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqih,
tetapi juga dalam ilmu hadits pada umumnya. Sementara terapannya bertebaran
dalam kitab-kitab fiqih dan syarah hadits, seperti al-Mughni karya Ibnu
Qudamah, Fath al-Bari; Syarah Shahih Bukhori karya Ibnu Hajar, Syarah
an-Nasa’iy karya as-Suyuti, Tanwir al-Hawalik; Syarah Muwaththa’ karya
as-Suyuti, Syarah Muwaththa’ karya az-Zarqani, Subulus Salam;Syarah
Bulughu al-Maram karya ash-Shan’ani dan sebagainya.[1]
B. Pengertian Mukhtalif
Al-Hadits
Dalam kaidah
bahasa Mukhtalaf Al-Hadis} adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalaf
dan Al-Hadis. Mukhtalaf sendiri adalah isim maf’ul dari kata ikhtalafa yang
berarti perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila
ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalaf atau
ikhtilaf. Sedangkan dalam istilah ahli hadis, Mukhtalif Al-Hadis (dengan dibaca
kasroh lam’) adalah hadis yang - secara dhohir - tampak saling bertentangan
dengan hadis lain. dan dengan dibaca fathah lam’nya adalah dua hadis yang
secara makna saling bertentangan. dari dua definisi diatas bisa disimpulkan
bahwa Mukhtalif Al-Hadis adalah adalah esensi hadis itu sendiri, sedangkan Mukhtlaf Al-Hadis adalah
pertentangannya.[2]
Sedangkan
menurut istilah ilmu mukhtalif al-Hadits ialah ilmu yang membahas
hadits-hadits, yang menurut lahirnya bertentangan atau berlawanan, kemudian
pertentangan tersebut dihilangkan atau dilkompromikan antara keduanya,
sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan
menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya. (Al-Hafidz Ibnu
Katsir, al- Basis al-Hadits; Syarah Ikhtisar ‘Ulum Al-Hadits).[3]
Dari pengertian
ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadits,
hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan dapat diatasi dengan
menghilangakan pertentangan tersebut. Begitu juga kemusykilan yang terlihat
dalam hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari
kandungan hadits tersebut.
Definisi yang
lain menyebutkan bahwa ilmu mukhtalif al-hadits ialah ilmu yang membahas
hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya
kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau
mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian
yang relevan dengan hadits tersebut.(Subhi Al-Shalih)
Sebagian ulama’
menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadits dengan ilmu musykil
al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtilaf
al-hadits.
Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadits yang
bertentangan maknanya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama’ hadits, ulama’
fiqh, dan lain-lain.[4]
C. Urgensi Mukhtalif al-Hadits
Bahwasanya
memahami hadis Nabi SAW. dengan pemahaman yang sehat, kuat, dan jernih serta
dalam, dan juga melakukan istinbat hukum dari hadis tersebut secara benar dan
sah tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali didukung dengan pengetahuan
tentang Mukhtalaf Al-Hadis, sehingga mau tidak mau bagi seorang ilmuan (‘ulama)
yang berkecimpung dalam bidang tersebut memahami Mukhtalif Al-Hadis merupakan
sebuah keniscayaan.
Saking
pentingnya memahami Muhktalif Al-Hadis}, para ‘ulama bervariasi dalam
memposisikan (Makanah) Ilmu Muhktalaf Al-Hadis}.
Diantara mereka
adalah Ibnu Hazm Al-Dhahiri, berikut statmennya:
وهذا من أدق ما يمكن أن
يعترض أهل العلم من تأليف النصوص وأغمضه وأصعبه
Artinya (kurang
lebih) :
“dan ini
(maksudnya adalah Ilmu Muhktalaf Al-Hadis) merupakan salah satu disiplin ilmu
yang sulit, rumit bagi seorang ilmuan (Ahl Al-‘Ilm) dalam merumuskan atau
menjabarkan nash-nash hadis”
Dan Imam Abu
Zakariya Al-Nawawi mengatakan dengan ungkapan :
" هذا فنٌ من أهمِّ
الأنواع، ويضطرُّ إلى معرفته جميع العلماء من الطوائف "
Artinya (kurang
lebih) :
“dan ini
(maksudnya adalah Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis) merupakan salah satu fan ilmu
terpenting. dan semua ‘ulama dari segala kelompok mutlak membutuhkan
pengetahuan tentang ilmu ini.”
Terkait urgensi
Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
" فإن تعارض دلالات الأقوال
وترجيح بعضها على بعض بحر خضم"
Artinya (kurang
lebih):
“sesungguhnya
pertentangan (secara dhahir) antara beberapa petunjuk dalil dan melakukan
tarjih pada sebagian dalil tersebut merupakan samudera yang sangat luas
(artinya sangat luas dan rumit)”[5]
D. Sebab-sebab Mukhtalif al-Hadits
a. Faktor Internal Hadits (al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu berkaitan
dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat)
didalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if.
Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan
dengan hadits shohih.
b.
Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor
yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang
lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan
haditsnya.
c.
Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan
dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada
sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstualis dan belum secara
kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh
seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif.
d.
Faktor Ideologi
Yakni berkaitan
dengan ideologi suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga
memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang
berkembang.[6]
E. Penyelesaian Mukhtalif
al-Hadits
Dari definisi
yang telah disebutkan dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa, pertentangan
yang terjadi pada hadits-hadits mukhtalif bersifat lahir, bukan hakiki. Hal ini
tentu saja berangkat dari asumsi yang sangat kuat bahwa tidak mungkin terjadi
pertentangan yang sangat kuat antara hadits-hadits yang sumbernya sama yaitu
Rasulullah saw. Selanjutnya, secara metodologis penyelesaian hadits mukhtalif
dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan.
1.
Pendekatan at-Taufiq atau al-Jam’u
Pendekatan ini dilakukan dengan mengkompromikan kedua hadits yang mukhtalif
tersebut. Upaya kompromi ini secara umum dapat dilakukan dengan penerapan pola
umum khusus atau muthlaq dan muqayyad. Penerapan pola khusus
dapat pula dilihat kekhususan dari konteks kapan, di mana, dan kepada siapa
Nabi bersabda.
2.
Pendekatan Nasakh
Pendekatan ini dilakukan jika jalan taufiq tidak dapat dilakukan. Itupun
jika data sejarah kedua hadits yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas.
Tanpa mengetahui taqaddum dan taakhhur dari kedua hadits
itu, metode nasakh mustahil dapat dilakukan.[7] Pendekatan nasakh
sendiri yaitu menghapus hadits yang turunnya lebih dahulu kemudian mengamalkan
hadits yang turunnya kemudian.
3.
Pendekatan Tarjih
Dalam pengertian sederhana, tarjih adalah suatu upaya
komparatif untuk menentukan sanad yang lebih kuat pada hadits-hadits yang
tampak ikhtilaf. Tarjih merupakan upaya terakhir yang mungkin dilakukan
dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif ketika jalan taufiq dan nasakh
mengalami kebuntuan. Jika pada langkah terakhir ini ikhtilaf juga
tidak dapat diselesaikan, maka hadits-hadits tersebut terpaksa dinyatakan tidak
dapat diamalkan (tawaqquf).[8]