15/12/2014

Asabab Wurud Al-Hadis & Mukhtalif Hadis ( Bagian 1 )

BAGIAN 1



A.     Asbab Wurud Al-Hadisz
1. Pengertian Asbab al-Wurud al-Hadits
Para ahli bahasa mendefinisikan sebagai dikutip al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud dengan “sebab” (Arab: sabab) adalah “al-Habl”: tali, yang menurut lisan al-‘Arab dinyatakan bahwa: kata ini dalam bahasa Arab berarti “saluran”, yang artinya dijelaskan sebagai: “segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda lainnya”. Para ahli istilah memaksudkannya sebagai: “segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”.[2]
Sementara itu, para ahli hukum Islam mendefinisikannya dengan: “suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu”.[3]
Sedangkan menurut Said Agil Husin Munawwar, secara etimologis, “asbab al-wurud” merupakan susunan idhafah (kata majemuk) yang berasal dari kata asbab dan al-Wurud. Kata “asbab” adalah betuk jamak dari kata “sabab”, yang berarti segala sesuatu yang dapat menghubungan kepada sesuatu yang lain. Atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata “wurud” merupakan bentuk isim masdar (kata benda abstrak) dari “warada, yaridu, wurudan”  yang berarti datang atau sampai. [4]
Adapun arti wurud (datang;[5] sampai; muncul) adalah sebagai berikut:
Sementara ahli mengatakan bahwa al-wurud berarti “air yang memancar, atau air yang mengalir”.
Dari uraian definisi itu, kita dapat menarik arti Wurud sebagai: “sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkenaan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau terbatas, dinasikh (dihapus) dan seterusnya”, atau, “suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya”.[6]
Secara sederhana dapat diartikan bahwa asbab al-wurud adalah sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadits, maka asbab al-wurud bisa diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang (background) munculnya suatu hadits.
Menurut Imam al-Suyuthi sebagai dikutip Said Agil Husin Munawwir, secara terminologi asbab al-wurud diartikan sebagai,
أنه ما يكون طريقا لتحديد المرد من الحديث من عموم أو خصوص أو اطلاق أو تقييد أو نسخ أو نحو ذالك.
“Sesuatu yang menjadi thariq (metode) untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, atau khusus, mutlaq atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya nasakh (pembatalan) dalam suatu hadits.”[7]
Ilmu Asbab Wurud al-Hadits ialah:
علم يعرف به السبب الذى ورد لاجله الحد يث والزمان الذى جاءفيه
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan”.[8]
Ilmu Asbabil Wurudil Hadits atau Sababul Atsar, ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadits. [9]
Ilmu ini mempunyai kaitan erat dengan ilmu Tawarikh al-Mutun[10]. Akan tetapi karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak seluruhnya tercakup dalam ilmu tarikh dan mempunyai faedah yang besar sekali dalam lapangan ilmu hadits, maka kebanyakan muhadditsin menjadikan ilmu itu suatu ilmu pengetahuan tersendiri, sebagai cabang ilmu hadits dari jurusan matan. [11]
Sementara menurut pendapat Hasbi al-Shiddiqie, beliau mendefinisikan asbab al-wurud sebagai berikut:
علم يعرف به السبب الذى ورد لاجله الحديث والزمان الذى جاءفيه.
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkannya.”[12]
Ada pula ulama yang mendefinisikan asbab al-wurud dengan pengertian yang agak mirip dengan pengertian asbab al-nuzul, yaitu:
ما ورد الحديث أيام وقوعه.
“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang terjadi pada waktu hadits itu disampaikan oleh Nabi.”[13] 
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik benang merah bahwa asbab al-wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadits itu disampaikan oleh Nabi. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadits itu bersifat umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, nasakh atau mansukh dan lain sebagainya.

2.      Cara-cara Mengetahui Asbab al-Wurud al-Hadits
Di antara maudlu’ pokok dalam ilmu Asbabil Wurudil Hadits, ialah pembicaraan tentang cara-cara untuk mengetahui  sebab-sebab lahirnya hadits.
Cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadits[14]. Karena tidak ada jalan bagi logika.[15]
Menurut penelitian al-Bulqiny sebagai dikutip Fatchur Rahman, bahwa sebab-sebab lahirnya hadits itu ada yang sudah tercantum dalam hadits itu sendiri dan ada pula yang tidak tercantum di dalam hadits sendiri, tetapi tercantum di hadits lain. [16] Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan dari para sahabat.[17]
Sebagai contoh Asbabul Wurudil Hadits yang tercantum di dalam hadits itu sendiri, seperti hadits Abu Dawud yang  tercantum dalam kitab Sunannya, yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudry, sebagai dikutip Fatchur Rahman[18]. Kata Abu Sa’id:

انه قيل لرسول الله صلى الله عليه وسلم اتوضأ من بئر بضا عة, وهي بئر يطرح فيه الحيضو ولحم الكلب والنتن فقال: الماء طهور لاينجسه شيئ.

” Bahwa beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan Rasulullah: ‘Apakah Tuan mengambil air wudlu dari sumur Budla’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing dan barang-barang busuk?’ Jawab Rasulullah: ‘Air itu suci, tak ada sesuatu yang menjadikannya najis’.”
            Sebab Rasulullah bersabda, bahwa setiap air itu suci, lantaran ada pertanyaan dari sahabat, tentang hukum air yang bercampur dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan itu dilukiskan dalam rangkaian hadits itu sendiri. [19]
Contoh Asbabul Wurud al-Hadits yang tidak tercantum dalam rangkaian hadits itu sendiri, tetapi diketahuinya dari hadits yang terdapat di lain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti hadits yang diketengahkan oleh Imam al-Sittah (Imam Bukhari dalam Kitab Bad’ul Wahyi 1/1, Imam Muslim dalam Kitab al-Imarah 2/1907, An-Nasa’i dalam Kitab al-Thaharah 1/51, Ibnu Majah dalam Kitab Suhud 2/1413) tentang niat dan hijrah, yang diriwayatkan melalui Umar ibnu al-Khatthab yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
انما الاعمال بالنيات وانما لامرئ ما نوا فمن كانت هجرته الى الله ورسوله,  فهجرته الى الله ورسوله,   ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أوامرأة يتزوجها  فهجرته الى ما هاجر اليه.
“Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu hanyalah menurut niatnya masing-masing. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya; barang siapa yang hijrahnya karena duniawi, maka dia akan memperolehnya; atau karena wanita, maka dia akan mengawininya. Maka hijrah seseorang itu hanya kepada apa yang diniatkan dalam hijrahnya.”[20]
Asbabul Wurud dari  Hadits tersebut, ditemukan pada hadits yang dikatakan Al-Zubair ibnu Bakkar di dalam kitab Akhbarul Madinah –sebagai dikutip al-Suyuthi- bahwa telah menceritaan kepadaku (al-Zubair) Muhammad ibnul Hasan, dari Muhammad ibnu Thalhah ibnu Abdul Rahman, dari Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim ibnu al-Harits, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, sahabat-sahabatnya terserang penyakit demam di Madinah. Kemudian datanglah seorang lelaki, lalu ia mengawini seorang wanita Muhajirah. Kemudian Rasulullah duduk di atas mimbarnya dan bersabda:
يا أيها الناس انما الاعمال بالنية. ثلاثا. فمن كانت هجرته الى الله ورسوله,  فهجرته الى الله ورسوله,   ومن كانت هجرته فى دنيا يطلبها, أوامرأة يخطبها فانما هجرته الى ما هاجر اليه.
“Hai, manusia, sesungguhnya amal-amal perbuatan itu hanyalah menurut niatnya –sebanyak tiga kali- Maka barangsiapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti dia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang niat hijrahnya karena duniawi, maka dia dapat mencarinya; atau karena wanita, dia dapat melamarnya. Maka sesungguhnya hijrah seseorang itu hanyalah kepada apa yang ia niatkan dalam hijrahnya.”[21]
3. Macam-macam Asbab al-Wurud al-Hadits
Menurut Imam al-Suyuthi, sebab-sebab munculnya suatu hadits terbagi dalam beberapa bagian;
  1. Berupa ayat al-Qur’an
Hal ini disebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki bentuk umum, namun yang dikehendaki oleh ayat itu adalah makna khusus. Kenyataan ini pasti membutuhkan keterangan yang lebih spesifik, lebih rinci dan dapat dipahami secara literal oleh pengikut Nabi.[22]
  1. Berupa hadits
Ucapan-ucapan Rasulullah saw yang sulit dipahami oleh sahabat, lalu beliau menjelaskannya melalui hadits lain yang menjawab kemusykilan (tentang sesuatu yang sulit dipahami) itu. Hadits-hadits tentang risalah termasuk dalam jenis ini.[23]
c. Merupakan penjelasan kepada para sahabat yang mendengarkan saat itu[24]
Bila ditinjau dari kaitan dan terpisahnya hadits satu sama lain, maka “Wurud al-Hadits” ini dapat dibagi dalam dua jenis:
1. Bila “wurud al-Hadits” ini bersambung dengan haditsnya, maka ia dinukil dari hadits itu. Tentang ini al-Balqini mengatakan: semisal hadits yang berkenaan dengan pertanyaan malaikat Jibril.
2. Bila “wurud al-hadits“nya terpisah dari hadits itu, maka ia dinukil melalui jalan yang lain. Tentang ini al-Balqini  mengatakan pula: Dan keadaan semacam inilah yang mesti diperhatikan dengan cermat. Lalu dicontohkannya hadits “al-kharaj” (pajak tanah) dengan “al-dhiman” (jaminan). [25]

4. Urgensi dan Signifikansi Mempelajari Asbab al-Wurud al-Hadits
Dari definisi asbab al-wurud tersebut di atas, kita dapat menangkap fungsi mempelajari asbab al-wurud al-hadits, yakni: membatasi arti suatu nash hadits dalam segi-segi berikut:
a. Mentakhsish (mengkhususkan) arti yang umum.
Sebagai akibat dari adanya pemahaman terhadap asbab al-wurud al-hadits adalah adanya pengkhususan makna dari sesuatu yang bersifat umum kepada sesuatu yang bersifat khusus.[26]
b. Membatasi arti yang mutlak[27]
c. Merinci yang mujmal (global)[28]
d. Menentukan persoalan nasakh dan menjelaskan nasikh dan mansukh[29]
e. Menerangkan illat (alasan) suatu hukum[30]
f.  Menjelaskan kemusykilan (kesulitan memahami)[31]

5. Hubungan Asbab al-Wurud al-Hadits dengan Asbab al-Nuzul al-  Qur’an
Sebab-sebab lahirnya sebuah hadits dan sebab-sebab turunnya sebuah ayat al-Qur’an, ada ditemukan kaitan persamaan antara keduanya dalam beberapa segi;
a.       Dalam faedah
Keduanya menentukan arti yang dimaksud, dan mengkompromikan dua hadits atau men-tarjih-kannya (mencari hadits mana yang lebih shahih) manakala terjadi pertentangan arti. [32]
b.      Ayat al-Qur’an memiliki sebab-sebab turunnya ayat tersebut, demikian pula halnya dengan hadits, ia memiliki sebab-sebab kelahirannya.[33]
c.       Dalam jenis-jenisnya
Seakan-akan turunnya ayat al-Qur’an menjadi sebab munculnya sebuah hadits, atau adanya sebuah hadits menjadi sebab turunnya ayat al-Qur’an. Juga seakan-akan suatu hadits itu muncul sebagai pelajaran bagi para sahabat, yang demikian pula halnya dengan ayat al-Qur’an.[34]
d.      Dalam bentuk       
Ada sebagian ayat yang turun sebagai bagian dari ayat yang lain, maka sebab munculnya suatu hadits pun juga ada yang merupakan bagian dari hadits yang lain.[35]

6. Sejarah, Perintis Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits dan Kitab-Kitab yang Paling Terkenal tentang Asbab al-Wurud al-Hadits

Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits terhitung telah lama ada, benih-benih ilmu ini telah ditanamkan di masa sahabat dan tabi’in. Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab.[36]
Al-Zarkasy dalam al-Burhan-nya –sebagai dikutip al-Suyuthi- menuturkan kisah yang berkenaan dengan firman Allah surat al-Ma’idah ayat 92,
“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
Al-Zarkasy menuturkan: Disebutkan bahwa Qudamah bin Mazh’un dan ‘Amr bin Ma’dikarib berkata: Khamr itu mubah, dan mereka berdua beralasan dengan ayat tersebut di atas yang tidak mereka ketahui sebab turunnya ayat tersebut, yang sesungguhnya menolak pendapat mereka, yakni apa yang dikemukakan oleh al-Hasan dan ulama lainnya berikut ini:
Di saat turun ayat yang mengharamkan khamr, para sahabat bertanya-tanya:
 “Bagaimana halnya dengan saudara-saudara kita yang telah meninggal dan mereka pernah minum khamr, sedangkan Allah telah mengemukakan bahwa khamr itu haram”.
Maka Allah pun menurunkan ayat tersebut di atas.[37]
Bertolak dari riwayat tersebut, maka jelaslah bahwasanya objek kajian ini merupakan salah satu di antara Ilmu-ilmu Hadits yang sejak awal telah memperoleh perhatian baik dari para ulama.
Mengenai kapan dimulainya penyusunan buku-buku yang berkenaan dengan masalah ini, al-Suyuthi menuturkan dengan menukil al-Dzahabi dan Ibnu Hajar yang menyatakan adanya beberapa karya tentang objek ini, yakni:
a.       Asbab al-Wurud al-Hadits, karya Abi Hafsah al-Akbari (wafat 399 H).[38] Ia adalah salah seorang guru Abu Yahya Muhammad bin al-Husain al-Farra’ al-Hanbaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (309 H).[39]
b.      Al-Bayan wa al-Ta’rief, karya Ibrahim ibn Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah al-Husainy (1120 H). Dicetak tahun 1329 H.[40]
c.       Asbab al-Wurud al-Hadits, karya Abu Hamid Abdul Jalil al-Jubari.
d.      Al-Luma’ Fi Asbab al-Wurud al-Hadits, karya al-Suyuthi.
e.       Al-Bayan Wa al-Ta’rif Fi Asbab al-Wurud al-Hadits al-Syarif, karya Abi Hamzah al-Dimasyqi. [41]
Al-Muhaddits as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin yang terkenal dengan Kunyah Ibnu Hamzah al-Husainy (1054-1120) mengarang pula kitab Asbab al-Wurud al-Hadits dengan diberi nama Al-Bayan wa Ta’rif fi Asbab al-Wurud al Hadits al-Syarif. Kitab yang disusun secara alfabetis ini dicetak pada tahun 1329 H di Halab dalam dua juz besar-besar. [42]

7. Tata Cara Memahami Hadits dengan Baik
Untuk mendapatkan pesan moral yang ideal, komprehensif dan sesuai dengan situasi dan kondisi serta menghindari penyimpangan, pemalsuan dan penafsiran yang buruk dalam memahami hadits, ada beberapa hal dan ketentuan-ketentuannya, di antaranya apa yang disebutkan Yusuf Saefullah dan Cecep Sumarna dalam bukunya Pengantar Ilmu Hadits, sebagai berikut:
a.       Memahami al-Sunnah sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.
b.      Menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama. Setelah itu lalu mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlaq kepada yang muqayyad dan menafsirkan yang ‘am kepada yang khas.
c.       Penggabungan atau pentarjihan antara hadits yang (tampaknya) bertentangan.
d.      Memahami hadits dengan mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisinya ketika diucapkan serta tujuannya.
e.       Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dengan sarana yang tetap.
f.       Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dengan yang bersifat majaz dalam memahami hadits.
g.      Membedakan antara alam ghaib dan alam kasat mata.
h.      Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadits.[43]
B.     Mukhtalif Al-Hadis
            a. Pengertian ilmu Mukhtalif al Hadis dan tujuannya
            Kata mukhtalif secara lughat merupakan isim fa’il dari al-ikhtilaf artinya yang bertentangan atau yang berselisih. Mukhtalaf Al-Hadits dilihat dari segi bahasa adalah ”hadis-hadis, yang berlawanan maknanya antara satu hadits dengan yang lainnya.”
            Sedangkan definisi secara istilah adalah hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan Hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi kemungkinan untuk dikompromikan antara keduanya.
            Dr Muhammad Ath Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa mukhtalif al Hadis adalah :
هُوَ الْحَدِيْثُ الْمَقْبُوْلُ الْمُعاَرِضُ بِمِثْلِهِ مَعَ اِمْكاَنِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا
Hadis makbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dipromosikan antara keduanya.
            Ilmu mukhtalif al Hadis adalah ilmu yang membahas hadis – hadis yang lahirnya terjadi kontradiksi akan tetapi dapat dikompromikan, baik dengan cara di taqyid (pembatasan) yang mutlak, Takhshish al – ‘am (pengkhususan yang umum), atau dengan yang lain. Ilmu ini juga disebut ilmu Talfiq al Hadis. Misalnya penulisan hadis pada masa awal perkembangan Islam, ada hadis yang melarang penulisan hadis dan ada pula hadis yang berisi perintah menulis hadis dan lain sebagainya. Jika seperti terjadi diatas, maka langkah penyelesaiannya dikompromikan (al jam’u wa at Tawfiq) yaitudengan cara Takhshish al ‘amm (mengkhususkan yang umum), nasikh mansuh, dan lain – lain.
            Tujuan ilmu ini mengetahui hadis mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan bagaimana pemecahannya atau langkah – langkah apa yang dilakukan para ulama dalam menyikapi hadis – hadis yang kontra tersebut.[1][1]



            b. Macam - macam, contoh, serta cara mengatasi Hadis Mukhtalif
            Sebagian ulama yang menyamakan istilah ilmu Mukhtalif al Hadis dengan ilmu Musykil al Hadis,  ilmu Ta’wil al Hadis, ilmu Talfiq al Hadis, dan ilmu Ikhtilaf al Hadis. Akan tetap yang dimaksudkan oleh oleh istilah – istilah diatas, artinya sama.
            Jadi, ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (Talfiq al Hadis) dua atau lebih hadis yang bertentangan maknanya. Adapun cara – cara mengkompromikan hadis tersebut ada kalanya dengan men – taqyid kemutlakan hadis, men – takhshish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadis, ulama fiqh, dan lain – lain.
Sebagai contoh adalah dua hadis shohih dibawah ini :
لاَعَدْوَى وَلاَطِيَرَةَ وَلاَهاَمَةَ... (رواه البخرى ومسلم)
“ Tidak ada penularan, ramalan jelek, reinkarnasi ruh yang telah meninggal ke burung hantu...” (HR. Bukhori dan Muslim)
Secara lahirnya bertentangan dengan hadis :
فِرَّمِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّمِنَ الْاَسَدِ (رواه البخرى ومسلم)
“ Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa...” (HR. Bukhori dan Muslim).
            Para ulama mencoba mengkompromikan dua hadis ini, antara lain :
1. Ibnu Al Shalah
Menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi Allah – lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya) adanya percampuran dengan orang sakit, melalui sebab – sebab yang berbeda – beda.
2. Al Qadhi al Baqillani
Ketetapan adanya penularan dalam penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat “la ‘adwa” itu, selain penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah – olah Rasul SAW mengatakan : “ Tak ada suatu penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang dapat menular.”[2][2]
            c. Ulama besar yang menyusun Ilmu Mukhtalif al-Hadis
            Pengetahuan tentang Mukhtalifu al Hadis adalah termasuk dasar ilmu hadis yang paling urgen, yang wajib diketahui oleh orang – orang alim. Dan hanya mereka yang menguasai ilmu hadis, ilmu fiqh, dan ilmu ushul, yang bisa menjabarkan dan membeberkan persoalan mukhtalifu al hadis ini, yang aplikatif berfungsi untuk menginterpretasikan makna – makna atau hukum – hukum yang problematik dan pelik. Imam Syafi’i telah menyusun kitab tentang permasalahan ini, dan ia dianggap sebagai orang yang pertama kali mencipta ilmu mukhtalifu al hadis ini, kemudian disusul oleh Ibnu Qutaibah dengan kitabnya Ta’wilu mukhtalifu al hadis. Pembahasan kitab ini cukup representatif. Selanjutnya, Ibnu Jabir, yang kemudian disusul oleh Al Thahawi dengan kitabnya yang berjudul “Musykilu al Atsari”. Kitab ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan disiplin ilmu mukhtalifu al hadis sebagai refrensi penting. Pembahasannya cukup menarik dan uraian – uraiannya laksana obat bagi orang yang sakit, serta minuman yang menyegarkan bagi mereka yang kehausan. Diantara ulama yang paling baik pembahasan dan uraiannya dalam masalah ini ialah Ibnu Hauzaimah. Dalam hal mukhtalifu al hadis ini, dia mengeluarkan suatu pernyataan suatu pernyataan yang sangat tegas, “ Tidak ada hadis yang bertentangan dari sudut apapun. Dan oleh sebab itu, barang siapa mendapati dua hadis yang bertentangan, maka datanglah kepadaku agar aku mencocokkan antara keduanya. “ [3][3]