BAGIAN 1
A.
Asbab Wurud Al-Hadisz
1.
Pengertian Asbab al-Wurud al-Hadits
Para ahli
bahasa mendefinisikan sebagai dikutip al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud dengan
“sebab” (Arab: sabab) adalah “al-Habl”: tali, yang menurut lisan
al-‘Arab dinyatakan bahwa: kata ini dalam bahasa Arab berarti “saluran”,
yang artinya dijelaskan sebagai: “segala sesuatu yang menghubungkan satu benda
ke benda lainnya”. Para ahli istilah memaksudkannya sebagai: “segala sesuatu
yang mengantarkan pada tujuan”.[2]
Sementara
itu, para ahli hukum Islam mendefinisikannya dengan: “suatu jalan menuju
terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu”.[3]
Sedangkan
menurut Said Agil Husin Munawwar, secara etimologis, “asbab al-wurud”
merupakan susunan idhafah (kata majemuk) yang berasal dari kata asbab
dan al-Wurud. Kata “asbab” adalah betuk jamak dari kata “sabab”,
yang berarti segala sesuatu yang dapat menghubungan kepada sesuatu yang lain.
Atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata “wurud” merupakan
bentuk isim masdar (kata benda abstrak) dari “warada, yaridu,
wurudan” yang berarti datang atau sampai. [4]
Adapun arti wurud
(datang;[5]
sampai; muncul) adalah sebagai berikut:
Sementara
ahli mengatakan bahwa al-wurud berarti “air yang memancar, atau air yang
mengalir”.
Dari uraian
definisi itu, kita dapat menarik arti Wurud sebagai: “sesuatu yang
membatasi arti suatu hadits, baik berkenaan dengan arti umum atau khusus,
mutlak atau terbatas, dinasikh (dihapus) dan seterusnya”, atau, “suatu arti
yang dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya”.[6]
Secara
sederhana dapat diartikan bahwa asbab al-wurud adalah sebab datangnya
sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadits,
maka asbab al-wurud bisa diartikan sebagai sebab-sebab atau latar
belakang (background) munculnya suatu hadits.
Menurut Imam
al-Suyuthi sebagai dikutip Said Agil Husin Munawwir, secara terminologi asbab
al-wurud diartikan sebagai,
أنه ما يكون
طريقا لتحديد المرد من الحديث من عموم أو خصوص أو اطلاق أو تقييد أو نسخ أو نحو
ذالك.
“Sesuatu yang menjadi thariq (metode) untuk menentukan
maksud suatu hadits yang bersifat umum, atau khusus, mutlaq atau muqayyad, dan
untuk menentukan ada tidaknya nasakh (pembatalan) dalam suatu hadits.”[7]
Ilmu Asbab
Wurud al-Hadits ialah:
علم يعرف به
السبب الذى ورد لاجله الحد يث والزمان الذى جاءفيه
Ilmu Asbabil
Wurudil Hadits atau Sababul Atsar, ialah ilmu pengetahuan
yang menerangkan sebab lahirnya hadits. [9]
Ilmu ini
mempunyai kaitan erat dengan ilmu Tawarikh al-Mutun[10].
Akan tetapi karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak
seluruhnya tercakup dalam ilmu tarikh dan mempunyai faedah yang besar sekali
dalam lapangan ilmu hadits, maka kebanyakan muhadditsin menjadikan ilmu itu
suatu ilmu pengetahuan tersendiri, sebagai cabang ilmu hadits dari jurusan
matan. [11]
Sementara
menurut pendapat Hasbi al-Shiddiqie, beliau mendefinisikan asbab al-wurud
sebagai berikut:
علم يعرف به
السبب الذى ورد لاجله الحديث والزمان الذى جاءفيه.
Ada pula
ulama yang mendefinisikan asbab al-wurud dengan pengertian yang agak
mirip dengan pengertian asbab al-nuzul, yaitu:
ما ورد
الحديث أيام وقوعه.
“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau
pertanyaan-pertanyaan) yang terjadi pada waktu hadits itu disampaikan oleh
Nabi.”[13]
Dari
beberapa definisi tersebut dapat ditarik benang merah bahwa asbab al-wurud
adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan
atau lainnya yang terjadi pada saat hadits itu disampaikan oleh Nabi. Ia dapat
berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadits itu bersifat
umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, nasakh atau mansukh dan lain
sebagainya.
2. Cara-cara Mengetahui Asbab
al-Wurud al-Hadits
Di antara maudlu’
pokok dalam ilmu Asbabil Wurudil Hadits, ialah pembicaraan tentang
cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits.
Cara-cara
untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu adalah dengan melihat aspek
riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadits[14].
Karena tidak ada jalan bagi logika.[15]
Menurut
penelitian al-Bulqiny sebagai dikutip Fatchur Rahman, bahwa sebab-sebab
lahirnya hadits itu ada yang sudah tercantum dalam hadits itu sendiri dan ada
pula yang tidak tercantum di dalam hadits sendiri, tetapi tercantum di hadits
lain. [16]
Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas
dasar pemberitaan dari para sahabat.[17]
Sebagai
contoh Asbabul Wurudil Hadits yang tercantum di dalam hadits itu
sendiri, seperti hadits Abu Dawud yang tercantum dalam kitab Sunannya,
yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudry, sebagai dikutip Fatchur Rahman[18].
Kata Abu Sa’id:
انه قيل لرسول الله صلى الله عليه وسلم اتوضأ من بئر بضا عة, وهي بئر يطرح
فيه الحيضو ولحم الكلب والنتن فقال: الماء طهور لاينجسه شيئ.
” Bahwa beliau pernah ditanya oleh
seseorang tentang perbuatan yang dilakukan Rasulullah: ‘Apakah Tuan mengambil
air wudlu dari sumur Budla’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing
dan barang-barang busuk?’ Jawab Rasulullah: ‘Air itu suci, tak ada sesuatu yang
menjadikannya najis’.”
Sebab Rasulullah bersabda, bahwa setiap air itu suci, lantaran ada pertanyaan
dari sahabat, tentang hukum air yang bercampur dengan darah, bangkai dan barang
yang busuk, yang persoalan itu dilukiskan dalam rangkaian hadits itu sendiri. [19]
Contoh Asbabul
Wurud al-Hadits yang tidak tercantum dalam rangkaian hadits itu sendiri,
tetapi diketahuinya dari hadits yang terdapat di lain tempat yang sanadnya juga
berlainan, seperti hadits yang diketengahkan oleh Imam al-Sittah (Imam Bukhari
dalam Kitab Bad’ul Wahyi 1/1, Imam Muslim dalam Kitab al-Imarah
2/1907, An-Nasa’i dalam Kitab al-Thaharah 1/51, Ibnu Majah dalam Kitab
Suhud 2/1413) tentang niat dan hijrah, yang diriwayatkan melalui Umar ibnu
al-Khatthab yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah
bersabda:
انما الاعمال بالنيات وانما
لامرئ ما نوا فمن كانت هجرته الى الله ورسوله, فهجرته الى الله
ورسوله, ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أوامرأة يتزوجها فهجرته
الى ما هاجر اليه.
“Sesungguhnya amal-amal perbuatan
itu hanyalah menurut niatnya masing-masing. Maka barang siapa yang hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya;
barang siapa yang hijrahnya karena duniawi, maka dia akan memperolehnya; atau
karena wanita, maka dia akan mengawininya. Maka hijrah seseorang itu hanya
kepada apa yang diniatkan dalam hijrahnya.”[20]
Asbabul
Wurud dari Hadits tersebut, ditemukan pada hadits yang dikatakan Al-Zubair
ibnu Bakkar di dalam kitab Akhbarul Madinah –sebagai dikutip al-Suyuthi-
bahwa telah menceritaan kepadaku (al-Zubair) Muhammad ibnul Hasan, dari
Muhammad ibnu Thalhah ibnu Abdul Rahman, dari Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim
ibnu al-Harits, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah tiba di
Madinah, sahabat-sahabatnya terserang penyakit demam di Madinah. Kemudian
datanglah seorang lelaki, lalu ia mengawini seorang wanita Muhajirah. Kemudian
Rasulullah duduk di atas mimbarnya dan bersabda:
يا أيها الناس انما الاعمال
بالنية. ثلاثا. فمن كانت هجرته الى الله ورسوله, فهجرته الى الله
ورسوله, ومن كانت هجرته فى دنيا يطلبها, أوامرأة يخطبها فانما هجرته
الى ما هاجر اليه.
“Hai, manusia, sesungguhnya
amal-amal perbuatan itu hanyalah menurut niatnya –sebanyak tiga kali- Maka
barangsiapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti dia
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang niat hijrahnya
karena duniawi, maka dia dapat mencarinya; atau karena wanita, dia dapat
melamarnya. Maka sesungguhnya hijrah seseorang itu hanyalah kepada apa yang ia
niatkan dalam hijrahnya.”[21]
3. Macam-macam Asbab al-Wurud
al-Hadits
Menurut Imam
al-Suyuthi, sebab-sebab munculnya suatu hadits terbagi dalam beberapa bagian;
- Berupa ayat al-Qur’an
Hal ini disebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki bentuk umum,
namun yang dikehendaki oleh ayat itu adalah makna khusus. Kenyataan ini pasti
membutuhkan keterangan yang lebih spesifik, lebih rinci dan dapat dipahami
secara literal oleh pengikut Nabi.[22]
- Berupa hadits
Ucapan-ucapan Rasulullah saw yang sulit dipahami oleh sahabat, lalu beliau
menjelaskannya melalui hadits lain yang menjawab kemusykilan (tentang
sesuatu yang sulit dipahami) itu. Hadits-hadits tentang risalah termasuk dalam
jenis ini.[23]
c. Merupakan
penjelasan kepada para sahabat yang mendengarkan saat itu[24]
Bila ditinjau dari kaitan dan terpisahnya hadits satu sama lain, maka “Wurud
al-Hadits” ini dapat dibagi dalam dua jenis:
1. Bila “wurud al-Hadits” ini bersambung dengan haditsnya, maka ia
dinukil dari hadits itu. Tentang ini al-Balqini mengatakan: semisal hadits yang
berkenaan dengan pertanyaan malaikat Jibril.
2. Bila “wurud al-hadits“nya terpisah dari hadits itu, maka ia
dinukil melalui jalan yang lain. Tentang ini al-Balqini mengatakan pula:
Dan keadaan semacam inilah yang mesti diperhatikan dengan cermat. Lalu
dicontohkannya hadits “al-kharaj” (pajak tanah) dengan “al-dhiman”
(jaminan). [25]
4. Urgensi
dan Signifikansi Mempelajari Asbab al-Wurud al-Hadits
Dari
definisi asbab al-wurud tersebut di atas, kita dapat menangkap fungsi
mempelajari asbab al-wurud al-hadits, yakni: membatasi arti suatu nash
hadits dalam segi-segi berikut:
a. Mentakhsish
(mengkhususkan) arti yang umum.
Sebagai akibat dari adanya pemahaman terhadap asbab al-wurud al-hadits
adalah adanya pengkhususan makna dari sesuatu yang bersifat umum kepada sesuatu
yang bersifat khusus.[26]
b. Membatasi
arti yang mutlak[27]
c. Merinci
yang mujmal (global)[28]
d.
Menentukan persoalan nasakh dan menjelaskan nasikh dan mansukh[29]
e. Menerangkan
illat (alasan) suatu hukum[30]
f.
Menjelaskan kemusykilan (kesulitan memahami)[31]
5. Hubungan Asbab al-Wurud al-Hadits dengan Asbab
al-Nuzul al- Qur’an
Sebab-sebab
lahirnya sebuah hadits dan sebab-sebab turunnya sebuah ayat al-Qur’an, ada
ditemukan kaitan persamaan antara keduanya dalam beberapa segi;
a.
Dalam faedah
Keduanya menentukan arti yang dimaksud, dan mengkompromikan dua hadits atau
men-tarjih-kannya (mencari hadits mana yang lebih shahih) manakala
terjadi pertentangan arti. [32]
b.
Ayat
al-Qur’an memiliki sebab-sebab turunnya ayat tersebut, demikian pula halnya
dengan hadits, ia memiliki sebab-sebab kelahirannya.[33]
c.
Dalam
jenis-jenisnya
Seakan-akan turunnya ayat al-Qur’an menjadi sebab munculnya sebuah hadits,
atau adanya sebuah hadits menjadi sebab turunnya ayat al-Qur’an. Juga
seakan-akan suatu hadits itu muncul sebagai pelajaran bagi para sahabat, yang
demikian pula halnya dengan ayat al-Qur’an.[34]
d.
Dalam
bentuk
Ada sebagian ayat yang turun sebagai bagian dari ayat yang lain, maka sebab
munculnya suatu hadits pun juga ada yang merupakan bagian dari hadits yang
lain.[35]
6. Sejarah, Perintis Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits dan
Kitab-Kitab yang Paling Terkenal tentang Asbab al-Wurud al-Hadits
Ilmu Asbab
al-Wurud al-Hadits terhitung telah lama ada, benih-benih ilmu ini telah
ditanamkan di masa sahabat dan tabi’in. Hanya saja ilmu ini belum tersusun
secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab.[36]
Al-Zarkasy
dalam al-Burhan-nya –sebagai dikutip al-Suyuthi- menuturkan kisah yang
berkenaan dengan firman Allah surat al-Ma’idah ayat 92,
“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada
Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka Ketahuilah bahwa
Sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang.”
Al-Zarkasy
menuturkan: Disebutkan bahwa Qudamah bin Mazh’un dan ‘Amr bin Ma’dikarib
berkata: Khamr itu mubah, dan mereka berdua beralasan dengan ayat tersebut di
atas yang tidak mereka ketahui sebab turunnya ayat tersebut, yang sesungguhnya
menolak pendapat mereka, yakni apa yang dikemukakan oleh al-Hasan dan ulama
lainnya berikut ini:
Di saat
turun ayat yang mengharamkan khamr, para sahabat bertanya-tanya:
“Bagaimana halnya dengan saudara-saudara kita
yang telah meninggal dan mereka pernah minum khamr, sedangkan Allah telah
mengemukakan bahwa khamr itu haram”.
Maka Allah
pun menurunkan ayat tersebut di atas.[37]
Bertolak
dari riwayat tersebut, maka jelaslah bahwasanya objek kajian ini merupakan
salah satu di antara Ilmu-ilmu Hadits yang sejak awal telah memperoleh
perhatian baik dari para ulama.
Mengenai
kapan dimulainya penyusunan buku-buku yang berkenaan dengan masalah ini,
al-Suyuthi menuturkan dengan menukil al-Dzahabi dan Ibnu Hajar yang menyatakan
adanya beberapa karya tentang objek ini, yakni:
a.
Asbab
al-Wurud al-Hadits, karya Abi Hafsah al-Akbari (wafat 399 H).[38]
Ia adalah salah seorang guru Abu Yahya Muhammad bin al-Husain al-Farra’
al-Hanbaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (309 H).[39]
b.
Al-Bayan wa
al-Ta’rief, karya Ibrahim ibn Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah
al-Husainy (1120 H). Dicetak tahun 1329 H.[40]
c.
Asbab
al-Wurud al-Hadits, karya Abu Hamid Abdul Jalil al-Jubari.
d.
Al-Luma’ Fi
Asbab al-Wurud al-Hadits, karya al-Suyuthi.
Al-Muhaddits
as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin yang terkenal dengan Kunyah Ibnu
Hamzah al-Husainy (1054-1120) mengarang pula kitab Asbab al-Wurud al-Hadits
dengan diberi nama Al-Bayan wa Ta’rif fi Asbab al-Wurud al Hadits al-Syarif.
Kitab yang disusun secara alfabetis ini dicetak pada tahun 1329 H di Halab
dalam dua juz besar-besar. [42]
7. Tata Cara
Memahami Hadits dengan Baik
Untuk
mendapatkan pesan moral yang ideal, komprehensif dan sesuai dengan situasi dan
kondisi serta menghindari penyimpangan, pemalsuan dan penafsiran yang buruk
dalam memahami hadits, ada beberapa hal dan ketentuan-ketentuannya, di
antaranya apa yang disebutkan Yusuf Saefullah dan Cecep Sumarna dalam bukunya Pengantar
Ilmu Hadits, sebagai berikut:
a.
Memahami
al-Sunnah sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.
b. Menghimpun hadits-hadits yang
terjalin dalam tema yang sama. Setelah itu lalu mengembalikan kandungannya yang
mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlaq
kepada yang muqayyad dan menafsirkan yang ‘am kepada yang khas.
c.
Penggabungan
atau pentarjihan antara hadits yang (tampaknya) bertentangan.
d.
Memahami
hadits dengan mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisinya ketika
diucapkan serta tujuannya.
e.
Membedakan
antara sarana yang berubah-ubah dengan sarana yang tetap.
f.
Membedakan
antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dengan yang bersifat majaz dalam
memahami hadits.
g.
Membedakan
antara alam ghaib dan alam kasat mata.
B.
Mukhtalif Al-Hadis
a.
Pengertian ilmu Mukhtalif al Hadis dan tujuannya
Kata mukhtalif
secara lughat merupakan isim fa’il dari al-ikhtilaf artinya yang
bertentangan atau yang berselisih. Mukhtalaf Al-Hadits dilihat dari segi
bahasa adalah ”hadis-hadis, yang berlawanan maknanya antara satu hadits dengan
yang lainnya.”
Sedangkan
definisi secara istilah adalah hadits yang diterima namun pada dhahirnya
kelihatan bertentangan dengan Hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan
tetapi kemungkinan untuk dikompromikan antara keduanya.
Dr
Muhammad Ath Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa mukhtalif al Hadis
adalah :
هُوَ الْحَدِيْثُ الْمَقْبُوْلُ
الْمُعاَرِضُ بِمِثْلِهِ مَعَ اِمْكاَنِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا
Hadis makbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan
dipromosikan antara keduanya.
Ilmu mukhtalif
al Hadis adalah ilmu yang membahas hadis – hadis yang lahirnya terjadi
kontradiksi akan tetapi dapat dikompromikan, baik dengan cara di taqyid (pembatasan)
yang mutlak, Takhshish al – ‘am (pengkhususan yang umum), atau dengan
yang lain. Ilmu ini juga disebut ilmu Talfiq al Hadis. Misalnya
penulisan hadis pada masa awal perkembangan Islam, ada hadis yang melarang
penulisan hadis dan ada pula hadis yang berisi perintah menulis hadis dan lain
sebagainya. Jika seperti terjadi diatas, maka langkah penyelesaiannya
dikompromikan (al jam’u wa at Tawfiq) yaitudengan cara Takhshish al
‘amm (mengkhususkan yang umum), nasikh mansuh, dan lain – lain.
Tujuan
ilmu ini mengetahui hadis mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan
bagaimana pemecahannya atau langkah – langkah apa yang dilakukan para ulama
dalam menyikapi hadis – hadis yang kontra tersebut.[1][1]
b.
Macam - macam, contoh, serta cara mengatasi Hadis Mukhtalif
Sebagian
ulama yang menyamakan istilah ilmu Mukhtalif al Hadis dengan ilmu Musykil
al Hadis, ilmu Ta’wil al Hadis,
ilmu Talfiq al Hadis, dan ilmu Ikhtilaf al Hadis. Akan tetap yang
dimaksudkan oleh oleh istilah – istilah diatas, artinya sama.
Jadi,
ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (Talfiq al Hadis) dua atau lebih
hadis yang bertentangan maknanya. Adapun cara – cara mengkompromikan hadis
tersebut ada kalanya dengan men – taqyid kemutlakan hadis, men – takhshish
keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih
banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadis, ulama fiqh, dan
lain – lain.
Sebagai contoh adalah dua hadis shohih dibawah ini :
لاَعَدْوَى وَلاَطِيَرَةَ
وَلاَهاَمَةَ... (رواه البخرى ومسلم)
“ Tidak ada penularan, ramalan jelek, reinkarnasi ruh
yang telah meninggal ke burung hantu...” (HR. Bukhori dan Muslim)
Secara lahirnya bertentangan dengan hadis :
فِرَّمِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا
تَفِرُّمِنَ الْاَسَدِ (رواه البخرى ومسلم)
“ Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana
kamu lari dari singa...” (HR. Bukhori dan Muslim).
Para
ulama mencoba mengkompromikan dua hadis ini, antara lain :
1. Ibnu Al Shalah
Menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular
dengan sendirinya. Tetapi Allah – lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya)
adanya percampuran dengan orang sakit, melalui sebab – sebab yang berbeda –
beda.
2. Al Qadhi al Baqillani
Ketetapan adanya penularan dalam penyakit lepra dan
semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan penularan. Dengan
demikian arti rangkaian kalimat “la ‘adwa” itu, selain penyakit lepra
dan semisalnya. Jadi seolah – olah Rasul SAW mengatakan : “ Tak ada suatu
penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang
dapat menular.”[2][2]
c.
Ulama besar yang menyusun Ilmu Mukhtalif al-Hadis
Pengetahuan
tentang Mukhtalifu al Hadis adalah termasuk dasar ilmu hadis yang paling urgen,
yang wajib diketahui oleh orang – orang alim. Dan hanya mereka yang menguasai
ilmu hadis, ilmu fiqh, dan ilmu ushul, yang bisa menjabarkan dan membeberkan
persoalan mukhtalifu al hadis ini, yang aplikatif berfungsi untuk
menginterpretasikan makna – makna atau hukum – hukum yang problematik dan
pelik. Imam Syafi’i telah menyusun kitab tentang permasalahan ini, dan ia
dianggap sebagai orang yang pertama kali mencipta ilmu mukhtalifu al hadis ini,
kemudian disusul oleh Ibnu Qutaibah dengan kitabnya Ta’wilu mukhtalifu al
hadis. Pembahasan kitab ini cukup representatif. Selanjutnya, Ibnu Jabir,
yang kemudian disusul oleh Al Thahawi dengan kitabnya yang berjudul “Musykilu
al Atsari”. Kitab ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam
perkembangan disiplin ilmu mukhtalifu al hadis sebagai refrensi penting.
Pembahasannya cukup menarik dan uraian – uraiannya laksana obat bagi orang yang
sakit, serta minuman yang menyegarkan bagi mereka yang kehausan. Diantara ulama
yang paling baik pembahasan dan uraiannya dalam masalah ini ialah Ibnu
Hauzaimah. Dalam hal mukhtalifu al hadis ini, dia mengeluarkan suatu pernyataan
suatu pernyataan yang sangat tegas, “ Tidak ada hadis yang bertentangan dari
sudut apapun. Dan oleh sebab itu, barang siapa mendapati dua hadis yang
bertentangan, maka datanglah kepadaku agar aku mencocokkan antara keduanya. “
[3][3]