21/12/2014

Prediksi Ilmuan Tentang Kehancuran Bumi


19/12/2014

Asal-Usul Penamaan Selayar

Sebenarnya Selayar bukanlah  nama salah satu suku, tapi nama pulau. Yang mendiami Pulau Selayar sekarang ini terdiri dari berbagai macam suku seperti Suka Makassar, Suku Bugis, Suku Bajo, Suku Tionghoa, Arab dan lainnya dan sudah membaur semua.
Menurut saya pribadi, kecil kemungkinan Orang Selayar berasal dari Jawa, dilihat dari berbagai aspek.  1. Face/muka. Muka orang Jawa dan Selayar tidak mirip. Kulit sawo matang tidak bisa jadi ukuran bahwa itu sama.
2. Adat istiadat, saya lihat tidak ada yang sama.3.Orang Jawa bukan tipe orang yang suka berlayar tetapi cenderung menempati pulau besar/daerah yang luas. Bahwa banyak Orang Jawa yang jadi pelaut itu kemudian karena sudah ditraining dan sekolah jadi pasti bisa berlayar.
Pengalaman saya tinggal di Pulau Jawa, merasakan bahwa adat istiadat di Tanah Jawa sama sekali tidak mirip dengan Selayar. Adat istiadat di Selayar lebih mirip dengan adat istiadat yang ada di Tiongkok.
Di Tiongkok sendiri ada salah satu suku namanya Suku Salar dan kalau saya lihat posturnya mirip2 Orang Sulawesi, agak pendek dan bermata agak-agak sipit. Tapi saya tidak bisa memastikan apakah itu yang kemudian ke Selayar.
Terus saya juga pernah merantau ke Pulau Formosa atau Taiwan, disini ada beberapa adat istiadat dan cara-cara masak makanan mirip dengan cara-cara di Selayar. Nah sebagai tambahan bahwa penduduk Taiwan sekarang ini berasal dari China Daratan/Tiongkok dan dintaranya ada mungkin ada Suku Salar.
Terus saya pernah diajak nonton sama teman dari Formosa, setelah selesai nonton saya ditanya : Bagaimana pendapatmu tentang film tadi. ?? Saya jawab bahwa film ini berkisah tentang petualangan dan ini juga dikisahkan secara turun temurun di Selayar.
Lalu saya bandingkan dengan adat istiadat Indo China/Vietnam...ini juga ada kemiripan dengan adat istiadat Selayar...sampai saya heran. Dan jangan salah...ada benda di Selayar namanya NEKARA persis sama dengan di Indo China.
Ada teman saya Orang Jawa, mereka tidak bisa akur dengan Vietnam, tetapi saya justru bisa lebih akur dengan mereka. Sifat keterbukannya jelas dan tidak basa-basi. Kalau Jawa kan kebanyakan basa-basi.
Mari makan..tapi dia makan sendiri, kalau Orang Indo China paling pantang ngajak orang makan kalau memang tidak akan memberi makanan. Nah Orang Selayar juga demikian.Saya pernah membaca artikel ( lupa apa namanya ) sewaktu saya masih di Indonesia.
Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa Orang Selayar sebetulnya adalah percampuran antara penduduk pribumi dengan Suku Tionghoa. Tentu saja tidak akan sama dengan Tionghoa sekrang ini karena berbeda agama, tetapi secara adat istiadat dan kekerarabatan sangat banyak persamaan. Indo China juga pada awalnya berasal dari China dan penduduk sekarang ini merupakan percampuran antara penduduk pribumi di Indo China dengan masyarakat dari Tiongkok. (*)

15/12/2014

Asbab Wurud Al Hadis & Mukhtalif Hadis ( Bagian II )

BAGIAN 2


A.    Asbab Wurud Al-Hadis

1)    Ilmu Asbab Wurud al-Hadis
Kata Asbab adalah jama’ dari sabab. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “ al-habl “ (tali),[1] saluran, yang artinya dijelaskan sebagai:” segala yang menghubungkan satu benda dengan benda lainnya”.[2]
Menurut istilah adalah:
كُلُّ شَيْءٍ يَتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى غَا يَتِهِ[3]
“Seagala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”
        Ada juga yang mendefenisikan dengan:”Suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hukum itu”.      [4]
Sedangkan kata wurud bisa berarti sampai, muncul,dan mengalir, seperti:          
أَلْمَاءُ أَلَّذِيْ يُوْرِدُ[5]
“Air yang memancar, atau air yang mengalir”
Dalam pengertian yang lebih luas, Al-Suyuthi merumuskan pengertian asbab wurud al-hadis dengan: Sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, dinasakhkan dan seterusnya” atau, “suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya”[6].
Dari uraian pengertian tersebut, asbab wurud al-hadis dapat diberi pengertian yakni “suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.” Seperti sabda rasul SAW. Tentang kesucian air laut dan apa yang ada didalamnya. Ia bersabda:”laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Hadis ini dituturkan oleh Rasul SAW. Saat berada ditengah lautan dan ada salah seorang sahabat yang merasa kesulitan berwudhu karna tidak mendapatkan air (tawar). Contoh lain adalah hadis tentang niat, hadis ini dituturkan berkena’an dengan peristiwa hijrahnya Rasul SAW. Kemadinah. Salah seorang yang ikut hijrah karena didorong ingin mengawini wanita yang bernama Ummu Qais.
Urgensi asbab wurud terhadap hadis .sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadis, sama halnya dengan urgensi asbab nujul Al-quran terhadap al-Quran, ini terlihat dari beberapa faedahnya ,antara lain, dapat mentakhsis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak, menunjukan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukan illat suatu hukum.
Maka dengan memahami asbab wurud hadis ini, dapat dengan mudah memahami apa yang dimaksud atau yang dikandung oleh suatu hadis. Namun demikian, tidak semua hadis mempunyai asbab wurud, seperti halnya tidak semua ayat al-Quran memiliki asbab nujulnya.

2)    Ta’rif dan faidah Ilmu Asbabi wurud Al-hadis
Yang dimaksud dengan Ilmu Asbabi wurud Al-hadis atau Asbab Al-atsar, ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadis. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebab-sebab, latar belakang dan sejarah dikeluarkan hadis itu sudah tercakup dalam pembahasan ilmu tarikh, karena itu tidak perlu dijadikan suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Akan tetapi karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak seluruhnya tidak tercakup dalam ilmu tarikh dan mempunyai faidah yang besar sekali dalam lapangan ilmu hadis. Maka kebanyakan muhadditsin menjadikan ilmu itu suatu ilmu pengetahuan tersendiri, sebagai cabang ilmu hadis dari jurusan matan.
Faidah-faidah mengetahui Asbab Wurud Al-hadis itu antara lain ialah :
1)      Untuk menolong, memahami dan menafsirkan al-hadis. Sebab sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya sesuatu itu merupakan saran untuk mengetahui musabbab (akibat) yang ditimbulkannya. Seseorang tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu hadis secara tepat, tanpa mengetahui sebab-sebab dan keterangan-keterangan tentang latar belakang: nabi bersabda, berbuat atau mengakui perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan beliau. Ia merupakan suatu sarana yang kuat untuk memahami dan menafsirkan al-hadis.
2)      Sebagaimana diketahui bahwa lafadz nash itu kadang-kadang dilukis dalam kata-kata yang bersifat umum, sehingga untuk mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang mentakhshikannya. Akan tetapi dengan diketahui sebab-sebab lahirnya nash itu, maka takhshih yang menggunakan selain sebab harus disingkirkan. Sebab menyingkirkan takhshih yang berbentuk sebab ini adalah qath’iy ,sedang mengeluarkan takhshis sebab adalah terlarang secara ijma’.
3)      Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syari’at(hukum).
4)      Untuk mentakhshishkan hukum bagi orang yang berpedoman qaidah Ushul-fiqh “Al-ibratu bikhusuhshi’s-sabab(mengambil suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus).biarpun dari pendapat yang kuat dari golongan Ushuliyun berpedoman dengan “Al-ibratu bi’umumu’i-lafadh,la bikhushusi’s-sabab”(mengambil suatu ibarat itu hendaknya berdasar pada lafad yang umum, bukan sebab-sebab yang khusus).

3)      Macam-macam Asbabul Wurud
Peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadits ada 2. Yaitu:
1.      Asbab Wurud Al-khas, yaitu peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu hadits.
2.      Asbab Wurud Al’Am, yaitu semua peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannnya oleh hadis, baik peristiwa itu terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu. Pengertian yang kedua ini dapat diperluas sehingga mencangkup kondisi social pada msa turunnya hadis (setting social).
Adapaun patokan kaidah yang dipakai oleh para mayoritas ulama dalam asbab wurud adalah ;
1.      Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah keumuman lafad, bukan sebab khususnya).
2.      Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi ‘umum al-lafdzi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah sebab khusus, bukan keumuman lafad.
Adapun contoh dari kaidah pertama yaitu Hadis tentang mandi jum’at yang berbunyi:
حَدَثَنَا عَبْدُ اْللَّه بْنِ يُوْسُفْ قَالَ : أَخْبَرَنَا مَالِكُ, عَنْ نَافِعِ عَنْ عَبْدِ اْللَّهِ بْنِ عُمَرْ رَضِيَ اْللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اْللَّهِ صَلَّي اْللَّهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ اَلجُمْعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ. (روه البخاري)

Sesungguhnya rasulallah SAW bersabda : “jika seseorang diantara kamu mendatangi shalat jum’at, maka hendaklah ia mandi” (H.R. Bukhari)
        Dalam memahami hadis diatas maka kita lihat dulu asbabul wurudnya. Pada jaman nabi SAW, ekonomi para sahabat pada umumnya masih dalam keada’an sulit. Mereka memakai baju wol dan bekerja diperkebunan kurma, memikul air diatas punggung mereka untuk melakukan penyiraman. Setelah bekerja diperkebunan, banyak diantara mereka yang langsung pergi ke masjid untuk melakukan shalat jum’at. Pada hari itu udara sangat panas dan nabi menyempatkan khutbah jum’at diatas mimbar yang pendek, kemudian mereka berkeringat dalam keadaan pakai pakaian wol. Bau keringat dan baju wol mereka menyebar diruangan masjid  dan jama’ah merasa terganggu. Bahkan bau mereka juga sampai menyebar kemimbar rasulallah SAW, dan kemudian nabi bersabda : “Wahai kalian manusia, jika kalian melaksanakan shalat jum’at ,hendaklah mandi terlebih dahulu dan pakai minyak wangi terbaik yang ada padanya”
        Jumhurul ulama mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari jum’at disebabkan oleh banyak factor, antara lain cuaca panas byang menyebabkan berkerinngat, pakaian wol yang menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit dan lain2. Jika jama’ah tidak mandi maka akan menimbulkan gangguan dan mengurangi ketenangan didalam masjid. Hadis itu berlaku dan wajib dilaksanakan dalam kondisi demikian.
        Ketika keadaan umat islam sudah makmur, masjid-masjid sudah luas dan pakaian mereka terbuat dari kain, maka ada kelonggaran dan kemurahan untuk tidak mandi ketika hendak pergi keshalat jum’at. Sebab hal itu tidak akan menimbulkan adanya gangguan pada jama’ah. Jika diamati ,maka kelihatan jelas pendapat jumhurul ulama diatas dalam memahami hadis dengan kaidah : Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi hadis nabi SAW yang menyatakan “siapa saja yang mendatangi shalat jum’at supaya mandi terlebih dahulu” lahir  karena adanya sebab khusus, yaitu adanya jama’ah yang kehadirannya menimbulkan gangguan berupa bau tidak sedap yang diitimbulkannya dalam ruangan masjid yang sangat sempit, dengan menerapkan kaidah diatas maka hadis itu berlaku pada siapa saja yang kondisinya sama dengan pelaku peristiwa yang menyebabkan munculnya hadis tersebut. Isi hadis tersebut tidak mengikat pada kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan pelaku peristiwa dan dalam suasana yang berbeda pula, hanya saja kalau perintah hadis itu dilaksanakan, maka hukumnya lebih baik bagi yang melakukan. Jika hadis itu dilepaskan dalam kontek asbabul wurudnya, maka disimpulkan bahwa hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib sebagaimana pendapat daud al-dhahiri. Pendapat semacam ini semata-mata memahami hadis secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks yang menyertainya.[7]
        Contoh kaidah yang kedua yaitu Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi ‘umum al-lafdzi ,berdasar4kan hadis diatas pula maka kita harus melihat pada sebab-sebab yang mengikutinya sebagaimana telah disebutkan. Jadi, jika menggunakan kaidah ini kewajiban mandi jum’at diatas hanya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kondisi latar belakang yang sama.
4)    Cara-cara Mengetahui Sebab-sebab Lahirnya Hadits
Di antara maudlu’ pokok dalam ilmu asbabi Wurudi’l-Hadis ialah pembicaraan tentang cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadis. Cara-caranya yaitu hanya dengan jalan riwayat saja. Karena tidak ada jalan bagi logika, menurut penelitian Al-Bulqiny, bahwa sebab-sebab lahirnya hadis itu ada yang sudah tercantum didalam hadis itu sendiri dan adapula yang tidak tercantum didalam hadis itu sendiri, tetapi tercantum dihadis lain.
Sebagai contoh asbabu wurudi’l-hadis yang tercantum didalam hadis itu sendiri, seperti hadis abu dawud yang tercantum dalam kitab sunannya, yang diriwayatkan oleh abu Sa’id al-Khudry, kata Abu Sa’ib :
إِنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اْللَهِ صَلَّي اْللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوَضَّاءُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ, وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيْهِ الْخَيْضُ , وَلَحْمُ الْكَلْبِ وَاْلنَّتْنِ فَقَالَ : أَلْمَاءُ طَهُوْرٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“bahwa beliau pernah ditanyakan oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan oleh rasulullah SAW :”apakah tuan mengambil air wudhu’ dari sumur Budla’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing dan barang-barang busuk ? jawab rasulullah SAW :”air itu suci, tak ada sesuatu yang menjadikannya najis”.
Sebab Rasulullah SAW bersabda, bahwa setiap air itu suci, lantaran ada pertanyaan dari sahabat, tentang hukum air yang bercampur dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan itu dilukiskan dalam rangkaian hadis itu sendiri.
Contoh asbabu’l-wurud yang tidak tercantum dalam rangkaian hadis itu sendiri, tetapi diketahuinya dari hadis yang terdapat dilain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti hadis Muttafaq-‘alaih tentang niyat dan hijrah, yang diriewayatkan oleh ibnu Umar r.a :
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِاْمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَي مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
“.... Barang siapa yang hijrahnya karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang bakal dikawininya, maka hijrahnya itu hanya kepada apa yang dihijrahkannya saja”.
Asbabu’l-Wurud dari hadis diatas , kita temukan pada hadis yang ditakhrijkan oleh At-thabarany yang bersanad tsiqah dari Ibnu Mas’ud r.a, ujarnya :
كَانَ بَيْنَنَا رَجُلٌ خَطَبَ إِمْرَةً يُقَالُ لَهَا ( أُ مُ قَيْسٍ ) , فَأ بَتْ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا حَتَّي يُهَاجِرَ , فَهَاجَرَفَتَزَوَّجَهَا . كُنَّا نُسَمِّيْهِ ( مُهَاجِرأمّ قَيْسٍ ).
“Konon pada jama’ah kami terdapat seorang laki-laki yang melamar kepada seorang perempuan yang bernama ummu Qais, tetapi perempuan itu menolak untuk dikawininya, kalau laki-laki pelamar tersebut enggan berhijrah ke madinah. Maka ia lalu hijrah dan kemudian mengawininya. Kami namai laki-laki itu , Muhajir Ummu Qais”.
5)       Perintis ilmu ini dan Kitab-kitabnya    
Perintis ilmu Asbabi Wurudi’l-hadis ialah Abu Hamid bin Kaznah Al-jubary *).[8] Kemudian disusul oleh Abu Hafs ‘Umar bin Muhammad bin Raja’i Al-Ukbury (380-458 H). Ia adalah salah seorang guru Abu Yahya Muhammad bin Al-husain Al-Farra’ Al-hambaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.
Al-Muhaddits As-Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaludin yang terkenal dengan kunyah Ibnu Hamzah Al-Husainy (1045-1120) mengarang pula kitab asbabi-wurud-hadits dengan diberi nama “Al-bayan wat Ta’rif fi Asbabi wurudil-hadisisy-syarif. Kitab yang disusun secara Alfabetis ini dicetak pada tahun 1329 H. diHalab dalam 2 juz besar-besar.











B.    Mukhtalif Al-Hadis

A.    Sejarah Singkat Mukhtalif Al-Hadits
Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Ini jelas terlihat dari rumusan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam kitab ar-Risalah, al-Umm, dan Ikhtilaf al-Hadits. Pembahasan ikhtilaf ini juga ditulis oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-Hadits (213-276 H) dan Musykil al-Atsar karya ath-Thahawi (229-321 H).
Di sisi lain, ilmu yang berhubungan dengan ilmu hadits dalam makna ilmu riwayah, lebih bersifat ilmu  musthalah al-hadits. Hal ini terlihat jelas dalam kitab al-Muhaddits al-Fashil  karya Ramahurmuziy (w. 360), yang dipandang sebagai kitab pertama dalam ilmu ini.
Dalam perkembangannya, ilmu ini tidak saja dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqih, tetapi juga dalam ilmu hadits pada umumnya. Sementara terapannya bertebaran dalam kitab-kitab fiqih dan syarah hadits, seperti al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Fath al-Bari; Syarah Shahih Bukhori karya Ibnu Hajar, Syarah an-Nasa’iy karya as-Suyuti, Tanwir al-Hawalik; Syarah Muwaththa’ karya as-Suyuti, Syarah Muwaththa’ karya az-Zarqani, Subulus Salam;Syarah Bulughu al-Maram karya ash-Shan’ani dan sebagainya.[1]

B.     Pengertian Mukhtalif Al-Hadits
Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadis} adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalaf dan Al-Hadis. Mukhtalaf sendiri adalah isim maf’ul dari kata ikhtalafa yang berarti perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalaf atau ikhtilaf. Sedangkan dalam istilah ahli hadis, Mukhtalif Al-Hadis (dengan dibaca kasroh lam’) adalah hadis yang - secara dhohir - tampak saling bertentangan dengan hadis lain. dan dengan dibaca fathah lam’nya adalah dua hadis yang secara makna saling bertentangan. dari dua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa Mukhtalif Al-Hadis adalah adalah esensi hadis itu sendiri, sedangkan Mukhtlaf Al-Hadis adalah pertentangannya.[2]
Sedangkan menurut istilah ilmu mukhtalif al-Hadits ialah ilmu yang membahas hadits-hadits, yang menurut lahirnya bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dilkompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya. (Al-Hafidz Ibnu Katsir, al- Basis al-Hadits; Syarah Ikhtisar ‘Ulum Al-Hadits).[3]
Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan dapat diatasi dengan menghilangakan pertentangan tersebut. Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut.
Definisi yang lain menyebutkan bahwa ilmu mukhtalif al-hadits ialah ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut.(Subhi Al-Shalih)
Sebagian ulama’ menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadits dengan ilmu musykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtilaf al-hadits.
            Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama’ hadits, ulama’ fiqh, dan lain-lain.[4]

C.    Urgensi Mukhtalif al-Hadits
Bahwasanya memahami hadis Nabi SAW. dengan pemahaman yang sehat, kuat, dan jernih serta dalam, dan juga melakukan istinbat hukum dari hadis tersebut secara benar dan sah tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali didukung dengan pengetahuan tentang Mukhtalaf Al-Hadis, sehingga mau tidak mau bagi seorang ilmuan (‘ulama) yang berkecimpung dalam bidang tersebut memahami Mukhtalif Al-Hadis merupakan sebuah keniscayaan.
Saking pentingnya memahami Muhktalif Al-Hadis}, para ‘ulama bervariasi dalam memposisikan (Makanah) Ilmu Muhktalaf Al-Hadis}.
Diantara mereka adalah Ibnu Hazm Al-Dhahiri, berikut statmennya:
وهذا من أدق ما يمكن أن يعترض أهل العلم من تأليف النصوص وأغمضه وأصعبه
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah Ilmu Muhktalaf Al-Hadis) merupakan salah satu disiplin ilmu yang sulit, rumit bagi seorang ilmuan (Ahl Al-‘Ilm) dalam merumuskan atau menjabarkan nash-nash hadis”
Dan Imam Abu Zakariya Al-Nawawi mengatakan dengan ungkapan :
" هذا فنٌ من أهمِّ الأنواع، ويضطرُّ إلى معرفته جميع العلماء من الطوائف "
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis) merupakan salah satu fan ilmu terpenting. dan semua ‘ulama dari segala kelompok mutlak membutuhkan pengetahuan tentang ilmu ini.”
Terkait urgensi Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
" فإن تعارض دلالات الأقوال وترجيح بعضها على بعض بحر خضم"
Artinya (kurang lebih):
“sesungguhnya pertentangan (secara dhahir) antara beberapa petunjuk dalil dan melakukan tarjih pada sebagian dalil tersebut merupakan samudera yang sangat luas (artinya sangat luas dan rumit)”[5]

D.    Sebab-sebab Mukhtalif al-Hadits
a.       Faktor Internal Hadits (al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) didalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shohih.
b.      Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan haditsnya.
c.       Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif.
d.       Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideologi suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.[6]

E.     Penyelesaian Mukhtalif al-Hadits
Dari definisi yang telah disebutkan dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa, pertentangan yang terjadi pada hadits-hadits mukhtalif bersifat lahir, bukan hakiki. Hal ini tentu saja berangkat dari asumsi yang sangat kuat bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan yang sangat kuat antara hadits-hadits yang sumbernya sama yaitu Rasulullah saw. Selanjutnya, secara metodologis penyelesaian hadits mukhtalif dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan.
1.      Pendekatan at-Taufiq atau al-Jam’u
Pendekatan ini dilakukan dengan mengkompromikan kedua hadits yang mukhtalif tersebut. Upaya kompromi ini secara umum dapat dilakukan dengan penerapan pola umum khusus atau muthlaq dan muqayyad. Penerapan pola khusus dapat pula dilihat kekhususan dari konteks kapan, di mana, dan kepada siapa Nabi bersabda.
2.      Pendekatan Nasakh
Pendekatan ini dilakukan jika jalan taufiq tidak dapat dilakukan. Itupun jika data sejarah kedua hadits yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas. Tanpa mengetahui  taqaddum dan taakhhur dari kedua hadits itu, metode nasakh mustahil dapat dilakukan.[7]   Pendekatan nasakh sendiri yaitu menghapus hadits yang turunnya lebih dahulu kemudian mengamalkan hadits yang turunnya kemudian.
3.      Pendekatan Tarjih
Dalam pengertian sederhana, tarjih  adalah suatu upaya komparatif untuk menentukan sanad yang lebih kuat pada hadits-hadits yang tampak ikhtilaf. Tarjih merupakan upaya terakhir yang mungkin dilakukan dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif ketika jalan taufiq dan nasakh mengalami kebuntuan. Jika pada langkah terakhir ini ikhtilaf  juga tidak dapat diselesaikan, maka hadits-hadits tersebut terpaksa dinyatakan tidak dapat diamalkan (tawaqquf).[8]

 

Asabab Wurud Al-Hadis & Mukhtalif Hadis ( Bagian 1 )

BAGIAN 1



A.     Asbab Wurud Al-Hadisz
1. Pengertian Asbab al-Wurud al-Hadits
Para ahli bahasa mendefinisikan sebagai dikutip al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud dengan “sebab” (Arab: sabab) adalah “al-Habl”: tali, yang menurut lisan al-‘Arab dinyatakan bahwa: kata ini dalam bahasa Arab berarti “saluran”, yang artinya dijelaskan sebagai: “segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda lainnya”. Para ahli istilah memaksudkannya sebagai: “segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”.[2]
Sementara itu, para ahli hukum Islam mendefinisikannya dengan: “suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu”.[3]
Sedangkan menurut Said Agil Husin Munawwar, secara etimologis, “asbab al-wurud” merupakan susunan idhafah (kata majemuk) yang berasal dari kata asbab dan al-Wurud. Kata “asbab” adalah betuk jamak dari kata “sabab”, yang berarti segala sesuatu yang dapat menghubungan kepada sesuatu yang lain. Atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata “wurud” merupakan bentuk isim masdar (kata benda abstrak) dari “warada, yaridu, wurudan”  yang berarti datang atau sampai. [4]
Adapun arti wurud (datang;[5] sampai; muncul) adalah sebagai berikut:
Sementara ahli mengatakan bahwa al-wurud berarti “air yang memancar, atau air yang mengalir”.
Dari uraian definisi itu, kita dapat menarik arti Wurud sebagai: “sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkenaan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau terbatas, dinasikh (dihapus) dan seterusnya”, atau, “suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya”.[6]
Secara sederhana dapat diartikan bahwa asbab al-wurud adalah sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadits, maka asbab al-wurud bisa diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang (background) munculnya suatu hadits.
Menurut Imam al-Suyuthi sebagai dikutip Said Agil Husin Munawwir, secara terminologi asbab al-wurud diartikan sebagai,
أنه ما يكون طريقا لتحديد المرد من الحديث من عموم أو خصوص أو اطلاق أو تقييد أو نسخ أو نحو ذالك.
“Sesuatu yang menjadi thariq (metode) untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, atau khusus, mutlaq atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya nasakh (pembatalan) dalam suatu hadits.”[7]
Ilmu Asbab Wurud al-Hadits ialah:
علم يعرف به السبب الذى ورد لاجله الحد يث والزمان الذى جاءفيه
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan”.[8]
Ilmu Asbabil Wurudil Hadits atau Sababul Atsar, ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadits. [9]
Ilmu ini mempunyai kaitan erat dengan ilmu Tawarikh al-Mutun[10]. Akan tetapi karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak seluruhnya tercakup dalam ilmu tarikh dan mempunyai faedah yang besar sekali dalam lapangan ilmu hadits, maka kebanyakan muhadditsin menjadikan ilmu itu suatu ilmu pengetahuan tersendiri, sebagai cabang ilmu hadits dari jurusan matan. [11]
Sementara menurut pendapat Hasbi al-Shiddiqie, beliau mendefinisikan asbab al-wurud sebagai berikut:
علم يعرف به السبب الذى ورد لاجله الحديث والزمان الذى جاءفيه.
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkannya.”[12]
Ada pula ulama yang mendefinisikan asbab al-wurud dengan pengertian yang agak mirip dengan pengertian asbab al-nuzul, yaitu:
ما ورد الحديث أيام وقوعه.
“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang terjadi pada waktu hadits itu disampaikan oleh Nabi.”[13] 
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik benang merah bahwa asbab al-wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadits itu disampaikan oleh Nabi. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadits itu bersifat umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, nasakh atau mansukh dan lain sebagainya.

2.      Cara-cara Mengetahui Asbab al-Wurud al-Hadits
Di antara maudlu’ pokok dalam ilmu Asbabil Wurudil Hadits, ialah pembicaraan tentang cara-cara untuk mengetahui  sebab-sebab lahirnya hadits.
Cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadits[14]. Karena tidak ada jalan bagi logika.[15]
Menurut penelitian al-Bulqiny sebagai dikutip Fatchur Rahman, bahwa sebab-sebab lahirnya hadits itu ada yang sudah tercantum dalam hadits itu sendiri dan ada pula yang tidak tercantum di dalam hadits sendiri, tetapi tercantum di hadits lain. [16] Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan dari para sahabat.[17]
Sebagai contoh Asbabul Wurudil Hadits yang tercantum di dalam hadits itu sendiri, seperti hadits Abu Dawud yang  tercantum dalam kitab Sunannya, yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudry, sebagai dikutip Fatchur Rahman[18]. Kata Abu Sa’id:

انه قيل لرسول الله صلى الله عليه وسلم اتوضأ من بئر بضا عة, وهي بئر يطرح فيه الحيضو ولحم الكلب والنتن فقال: الماء طهور لاينجسه شيئ.

” Bahwa beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan Rasulullah: ‘Apakah Tuan mengambil air wudlu dari sumur Budla’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing dan barang-barang busuk?’ Jawab Rasulullah: ‘Air itu suci, tak ada sesuatu yang menjadikannya najis’.”
            Sebab Rasulullah bersabda, bahwa setiap air itu suci, lantaran ada pertanyaan dari sahabat, tentang hukum air yang bercampur dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan itu dilukiskan dalam rangkaian hadits itu sendiri. [19]
Contoh Asbabul Wurud al-Hadits yang tidak tercantum dalam rangkaian hadits itu sendiri, tetapi diketahuinya dari hadits yang terdapat di lain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti hadits yang diketengahkan oleh Imam al-Sittah (Imam Bukhari dalam Kitab Bad’ul Wahyi 1/1, Imam Muslim dalam Kitab al-Imarah 2/1907, An-Nasa’i dalam Kitab al-Thaharah 1/51, Ibnu Majah dalam Kitab Suhud 2/1413) tentang niat dan hijrah, yang diriwayatkan melalui Umar ibnu al-Khatthab yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
انما الاعمال بالنيات وانما لامرئ ما نوا فمن كانت هجرته الى الله ورسوله,  فهجرته الى الله ورسوله,   ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أوامرأة يتزوجها  فهجرته الى ما هاجر اليه.
“Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu hanyalah menurut niatnya masing-masing. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya; barang siapa yang hijrahnya karena duniawi, maka dia akan memperolehnya; atau karena wanita, maka dia akan mengawininya. Maka hijrah seseorang itu hanya kepada apa yang diniatkan dalam hijrahnya.”[20]
Asbabul Wurud dari  Hadits tersebut, ditemukan pada hadits yang dikatakan Al-Zubair ibnu Bakkar di dalam kitab Akhbarul Madinah –sebagai dikutip al-Suyuthi- bahwa telah menceritaan kepadaku (al-Zubair) Muhammad ibnul Hasan, dari Muhammad ibnu Thalhah ibnu Abdul Rahman, dari Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim ibnu al-Harits, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, sahabat-sahabatnya terserang penyakit demam di Madinah. Kemudian datanglah seorang lelaki, lalu ia mengawini seorang wanita Muhajirah. Kemudian Rasulullah duduk di atas mimbarnya dan bersabda:
يا أيها الناس انما الاعمال بالنية. ثلاثا. فمن كانت هجرته الى الله ورسوله,  فهجرته الى الله ورسوله,   ومن كانت هجرته فى دنيا يطلبها, أوامرأة يخطبها فانما هجرته الى ما هاجر اليه.
“Hai, manusia, sesungguhnya amal-amal perbuatan itu hanyalah menurut niatnya –sebanyak tiga kali- Maka barangsiapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti dia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang niat hijrahnya karena duniawi, maka dia dapat mencarinya; atau karena wanita, dia dapat melamarnya. Maka sesungguhnya hijrah seseorang itu hanyalah kepada apa yang ia niatkan dalam hijrahnya.”[21]
3. Macam-macam Asbab al-Wurud al-Hadits
Menurut Imam al-Suyuthi, sebab-sebab munculnya suatu hadits terbagi dalam beberapa bagian;
  1. Berupa ayat al-Qur’an
Hal ini disebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki bentuk umum, namun yang dikehendaki oleh ayat itu adalah makna khusus. Kenyataan ini pasti membutuhkan keterangan yang lebih spesifik, lebih rinci dan dapat dipahami secara literal oleh pengikut Nabi.[22]
  1. Berupa hadits
Ucapan-ucapan Rasulullah saw yang sulit dipahami oleh sahabat, lalu beliau menjelaskannya melalui hadits lain yang menjawab kemusykilan (tentang sesuatu yang sulit dipahami) itu. Hadits-hadits tentang risalah termasuk dalam jenis ini.[23]
c. Merupakan penjelasan kepada para sahabat yang mendengarkan saat itu[24]
Bila ditinjau dari kaitan dan terpisahnya hadits satu sama lain, maka “Wurud al-Hadits” ini dapat dibagi dalam dua jenis:
1. Bila “wurud al-Hadits” ini bersambung dengan haditsnya, maka ia dinukil dari hadits itu. Tentang ini al-Balqini mengatakan: semisal hadits yang berkenaan dengan pertanyaan malaikat Jibril.
2. Bila “wurud al-hadits“nya terpisah dari hadits itu, maka ia dinukil melalui jalan yang lain. Tentang ini al-Balqini  mengatakan pula: Dan keadaan semacam inilah yang mesti diperhatikan dengan cermat. Lalu dicontohkannya hadits “al-kharaj” (pajak tanah) dengan “al-dhiman” (jaminan). [25]

4. Urgensi dan Signifikansi Mempelajari Asbab al-Wurud al-Hadits
Dari definisi asbab al-wurud tersebut di atas, kita dapat menangkap fungsi mempelajari asbab al-wurud al-hadits, yakni: membatasi arti suatu nash hadits dalam segi-segi berikut:
a. Mentakhsish (mengkhususkan) arti yang umum.
Sebagai akibat dari adanya pemahaman terhadap asbab al-wurud al-hadits adalah adanya pengkhususan makna dari sesuatu yang bersifat umum kepada sesuatu yang bersifat khusus.[26]
b. Membatasi arti yang mutlak[27]
c. Merinci yang mujmal (global)[28]
d. Menentukan persoalan nasakh dan menjelaskan nasikh dan mansukh[29]
e. Menerangkan illat (alasan) suatu hukum[30]
f.  Menjelaskan kemusykilan (kesulitan memahami)[31]

5. Hubungan Asbab al-Wurud al-Hadits dengan Asbab al-Nuzul al-  Qur’an
Sebab-sebab lahirnya sebuah hadits dan sebab-sebab turunnya sebuah ayat al-Qur’an, ada ditemukan kaitan persamaan antara keduanya dalam beberapa segi;
a.       Dalam faedah
Keduanya menentukan arti yang dimaksud, dan mengkompromikan dua hadits atau men-tarjih-kannya (mencari hadits mana yang lebih shahih) manakala terjadi pertentangan arti. [32]
b.      Ayat al-Qur’an memiliki sebab-sebab turunnya ayat tersebut, demikian pula halnya dengan hadits, ia memiliki sebab-sebab kelahirannya.[33]
c.       Dalam jenis-jenisnya
Seakan-akan turunnya ayat al-Qur’an menjadi sebab munculnya sebuah hadits, atau adanya sebuah hadits menjadi sebab turunnya ayat al-Qur’an. Juga seakan-akan suatu hadits itu muncul sebagai pelajaran bagi para sahabat, yang demikian pula halnya dengan ayat al-Qur’an.[34]
d.      Dalam bentuk       
Ada sebagian ayat yang turun sebagai bagian dari ayat yang lain, maka sebab munculnya suatu hadits pun juga ada yang merupakan bagian dari hadits yang lain.[35]

6. Sejarah, Perintis Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits dan Kitab-Kitab yang Paling Terkenal tentang Asbab al-Wurud al-Hadits

Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits terhitung telah lama ada, benih-benih ilmu ini telah ditanamkan di masa sahabat dan tabi’in. Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab.[36]
Al-Zarkasy dalam al-Burhan-nya –sebagai dikutip al-Suyuthi- menuturkan kisah yang berkenaan dengan firman Allah surat al-Ma’idah ayat 92,
“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
Al-Zarkasy menuturkan: Disebutkan bahwa Qudamah bin Mazh’un dan ‘Amr bin Ma’dikarib berkata: Khamr itu mubah, dan mereka berdua beralasan dengan ayat tersebut di atas yang tidak mereka ketahui sebab turunnya ayat tersebut, yang sesungguhnya menolak pendapat mereka, yakni apa yang dikemukakan oleh al-Hasan dan ulama lainnya berikut ini:
Di saat turun ayat yang mengharamkan khamr, para sahabat bertanya-tanya:
 “Bagaimana halnya dengan saudara-saudara kita yang telah meninggal dan mereka pernah minum khamr, sedangkan Allah telah mengemukakan bahwa khamr itu haram”.
Maka Allah pun menurunkan ayat tersebut di atas.[37]
Bertolak dari riwayat tersebut, maka jelaslah bahwasanya objek kajian ini merupakan salah satu di antara Ilmu-ilmu Hadits yang sejak awal telah memperoleh perhatian baik dari para ulama.
Mengenai kapan dimulainya penyusunan buku-buku yang berkenaan dengan masalah ini, al-Suyuthi menuturkan dengan menukil al-Dzahabi dan Ibnu Hajar yang menyatakan adanya beberapa karya tentang objek ini, yakni:
a.       Asbab al-Wurud al-Hadits, karya Abi Hafsah al-Akbari (wafat 399 H).[38] Ia adalah salah seorang guru Abu Yahya Muhammad bin al-Husain al-Farra’ al-Hanbaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (309 H).[39]
b.      Al-Bayan wa al-Ta’rief, karya Ibrahim ibn Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah al-Husainy (1120 H). Dicetak tahun 1329 H.[40]
c.       Asbab al-Wurud al-Hadits, karya Abu Hamid Abdul Jalil al-Jubari.
d.      Al-Luma’ Fi Asbab al-Wurud al-Hadits, karya al-Suyuthi.
e.       Al-Bayan Wa al-Ta’rif Fi Asbab al-Wurud al-Hadits al-Syarif, karya Abi Hamzah al-Dimasyqi. [41]
Al-Muhaddits as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin yang terkenal dengan Kunyah Ibnu Hamzah al-Husainy (1054-1120) mengarang pula kitab Asbab al-Wurud al-Hadits dengan diberi nama Al-Bayan wa Ta’rif fi Asbab al-Wurud al Hadits al-Syarif. Kitab yang disusun secara alfabetis ini dicetak pada tahun 1329 H di Halab dalam dua juz besar-besar. [42]

7. Tata Cara Memahami Hadits dengan Baik
Untuk mendapatkan pesan moral yang ideal, komprehensif dan sesuai dengan situasi dan kondisi serta menghindari penyimpangan, pemalsuan dan penafsiran yang buruk dalam memahami hadits, ada beberapa hal dan ketentuan-ketentuannya, di antaranya apa yang disebutkan Yusuf Saefullah dan Cecep Sumarna dalam bukunya Pengantar Ilmu Hadits, sebagai berikut:
a.       Memahami al-Sunnah sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.
b.      Menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama. Setelah itu lalu mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlaq kepada yang muqayyad dan menafsirkan yang ‘am kepada yang khas.
c.       Penggabungan atau pentarjihan antara hadits yang (tampaknya) bertentangan.
d.      Memahami hadits dengan mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisinya ketika diucapkan serta tujuannya.
e.       Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dengan sarana yang tetap.
f.       Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dengan yang bersifat majaz dalam memahami hadits.
g.      Membedakan antara alam ghaib dan alam kasat mata.
h.      Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadits.[43]
B.     Mukhtalif Al-Hadis
            a. Pengertian ilmu Mukhtalif al Hadis dan tujuannya
            Kata mukhtalif secara lughat merupakan isim fa’il dari al-ikhtilaf artinya yang bertentangan atau yang berselisih. Mukhtalaf Al-Hadits dilihat dari segi bahasa adalah ”hadis-hadis, yang berlawanan maknanya antara satu hadits dengan yang lainnya.”
            Sedangkan definisi secara istilah adalah hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan Hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi kemungkinan untuk dikompromikan antara keduanya.
            Dr Muhammad Ath Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa mukhtalif al Hadis adalah :
هُوَ الْحَدِيْثُ الْمَقْبُوْلُ الْمُعاَرِضُ بِمِثْلِهِ مَعَ اِمْكاَنِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا
Hadis makbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dipromosikan antara keduanya.
            Ilmu mukhtalif al Hadis adalah ilmu yang membahas hadis – hadis yang lahirnya terjadi kontradiksi akan tetapi dapat dikompromikan, baik dengan cara di taqyid (pembatasan) yang mutlak, Takhshish al – ‘am (pengkhususan yang umum), atau dengan yang lain. Ilmu ini juga disebut ilmu Talfiq al Hadis. Misalnya penulisan hadis pada masa awal perkembangan Islam, ada hadis yang melarang penulisan hadis dan ada pula hadis yang berisi perintah menulis hadis dan lain sebagainya. Jika seperti terjadi diatas, maka langkah penyelesaiannya dikompromikan (al jam’u wa at Tawfiq) yaitudengan cara Takhshish al ‘amm (mengkhususkan yang umum), nasikh mansuh, dan lain – lain.
            Tujuan ilmu ini mengetahui hadis mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan bagaimana pemecahannya atau langkah – langkah apa yang dilakukan para ulama dalam menyikapi hadis – hadis yang kontra tersebut.[1][1]



            b. Macam - macam, contoh, serta cara mengatasi Hadis Mukhtalif
            Sebagian ulama yang menyamakan istilah ilmu Mukhtalif al Hadis dengan ilmu Musykil al Hadis,  ilmu Ta’wil al Hadis, ilmu Talfiq al Hadis, dan ilmu Ikhtilaf al Hadis. Akan tetap yang dimaksudkan oleh oleh istilah – istilah diatas, artinya sama.
            Jadi, ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (Talfiq al Hadis) dua atau lebih hadis yang bertentangan maknanya. Adapun cara – cara mengkompromikan hadis tersebut ada kalanya dengan men – taqyid kemutlakan hadis, men – takhshish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadis, ulama fiqh, dan lain – lain.
Sebagai contoh adalah dua hadis shohih dibawah ini :
لاَعَدْوَى وَلاَطِيَرَةَ وَلاَهاَمَةَ... (رواه البخرى ومسلم)
“ Tidak ada penularan, ramalan jelek, reinkarnasi ruh yang telah meninggal ke burung hantu...” (HR. Bukhori dan Muslim)
Secara lahirnya bertentangan dengan hadis :
فِرَّمِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّمِنَ الْاَسَدِ (رواه البخرى ومسلم)
“ Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa...” (HR. Bukhori dan Muslim).
            Para ulama mencoba mengkompromikan dua hadis ini, antara lain :
1. Ibnu Al Shalah
Menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi Allah – lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya) adanya percampuran dengan orang sakit, melalui sebab – sebab yang berbeda – beda.
2. Al Qadhi al Baqillani
Ketetapan adanya penularan dalam penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat “la ‘adwa” itu, selain penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah – olah Rasul SAW mengatakan : “ Tak ada suatu penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang dapat menular.”[2][2]
            c. Ulama besar yang menyusun Ilmu Mukhtalif al-Hadis
            Pengetahuan tentang Mukhtalifu al Hadis adalah termasuk dasar ilmu hadis yang paling urgen, yang wajib diketahui oleh orang – orang alim. Dan hanya mereka yang menguasai ilmu hadis, ilmu fiqh, dan ilmu ushul, yang bisa menjabarkan dan membeberkan persoalan mukhtalifu al hadis ini, yang aplikatif berfungsi untuk menginterpretasikan makna – makna atau hukum – hukum yang problematik dan pelik. Imam Syafi’i telah menyusun kitab tentang permasalahan ini, dan ia dianggap sebagai orang yang pertama kali mencipta ilmu mukhtalifu al hadis ini, kemudian disusul oleh Ibnu Qutaibah dengan kitabnya Ta’wilu mukhtalifu al hadis. Pembahasan kitab ini cukup representatif. Selanjutnya, Ibnu Jabir, yang kemudian disusul oleh Al Thahawi dengan kitabnya yang berjudul “Musykilu al Atsari”. Kitab ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan disiplin ilmu mukhtalifu al hadis sebagai refrensi penting. Pembahasannya cukup menarik dan uraian – uraiannya laksana obat bagi orang yang sakit, serta minuman yang menyegarkan bagi mereka yang kehausan. Diantara ulama yang paling baik pembahasan dan uraiannya dalam masalah ini ialah Ibnu Hauzaimah. Dalam hal mukhtalifu al hadis ini, dia mengeluarkan suatu pernyataan suatu pernyataan yang sangat tegas, “ Tidak ada hadis yang bertentangan dari sudut apapun. Dan oleh sebab itu, barang siapa mendapati dua hadis yang bertentangan, maka datanglah kepadaku agar aku mencocokkan antara keduanya. “ [3][3]